Senandung Laskar Pelangi di Tiga Puluh Empat yang Suci

laskarpelangi.gifHari yang suci, lebaran kedua, 2 Syawal 1429 H alias 2 Oktober 2008, menjadi saksi bisu bergesernya umurku menjadi 34 tahun. Ulang tahun? Hmm bahasa manusia yang biasa menjadi kata penghibur seolah-olah hidup kita bisa kembali berulang 🙂 Padahal hakekat bertambahnya umur adalah peringatan keras dari yang Diatas bahwa kita semakin tua, semakin bertambah dosa dan semakin banyak beban yang harus kita pikul dalam perdjoeangan mewarnai republik ini, itulah persepsiku tentang hakekat dari hari ini. Ulang tahun, milad, mendapat amanah dan jabatan baru seharusnya diikuti dengan istighfaran dan bukan malah syukuran apalagi dangdutan, karena memang nikmatnya tidak sebanding dengan tuntutan beban yang harus diemban 🙁

Menengok ke belakang, 34 tahun hidup, sepertinya lebih banyak dosa dan kesalahan yang aku perbuat daripada pahala yang aku kumpulkan. Aku juga merasa masih lebih banyak menerima dari orang lain dibandingkan memberi manfaat kepada orang lain. Hutangku  kepada rakyat menggunung, rakyat di republik inilah yang telah membuatku pintar, menyekolahkanku dan memberi beasiswa sejak dari SMA Taruna Nusantara dan berangkat ke Jepang untuk lima tahun pertamaku mengambil sekolah bahasa dan program bachelor.

Membaca novel dan melihat film Laskar Pelangi memberi tamparan keras di pipiku. Manusia jenius didikan alam semacam Lintang-lah yang seharusnya mendapat kesempatan untuk disekolahkan oleh rakyat, dan bukanlah aku. Aku merasa semakin berdosa ketika menyaksikan guru muda yang dahsyat dan ikhlas semacam Bu Mus. Ya merekalah yang sebenarnya lebih berhak untuk mendapat kesempatan menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Ucapan Pak Harfan, kepala sekolah SD Muhammadiyah Gantong, Belitong juga menjadi cambuk dan motivasi penting dalam perdjoeanganku.

Hiduplah dengan memberi sebanyak-banyaknya dan bukan menerima sebanyak-banyaknya!

Evolusi perdjoeanganku mungkin tidak seelok Ikal, Syahdan, dan Kucai yang mengadu nasib ke Jakarta lepas SMA. Juga ujian yang datang belumlah seberat Lintang, sang jenius didikan alam yang harus menyerah karena keadaan alam. Juga sangat ecek-ecek jika dibandingkan dengan dahsyat dan gemuruhnya perdjoeangan para founding-fathers republik ini dalam membebaskan rakyat dari penjajahan dan menyatakan kemerdekaan.

Paling tidak aku sudah mulai sadar bahwa kebebasan dan kemerdekaan yang aku miliki ini adalah modal dasar untuk membebaskan orang lain. Ya kebebasan haruslah diikuti dengan usaha untuk membebaskan orang lain, itulah kebebasan yang membaskan. Kesadaran ini aku lanjutkan dengan membuka kesempatan dan beasiswa kepada para pedjoeangku, para jenius didikan alam yang terkulai karena keadaan ekonomi keluarga, untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Ketika aku harus menjalankan profesiku sebagai dosen, aku berusaha mencontoh karakter pendidik seperti Bu Mus dan Pak Harfan. Aku berusaha terus menerjemahkan tacit dan explicit knowledge yang aku miliki supaya bisa tersampaikan dengan bahasa manusia yang baik dan benar.

Totalitas mengajarku mendapatkan ujian besar ketika harus memimpin 18 mahasiswa pedjoeang di program M.Kom konsentrasi Game Technology di Udinus Semarang. Di sela keluyuran ilmiahku, aku kadang mencoba memberikan pemahaman kepada para mahasiswa di berbagai kampus bahwa menjadi entrepreneur dan tangan diatas adalah lebih baik daripada hanya menerima dari orang lain. Di sisi lain, aku harus berperan menjadi seorang Mahar, seniman alam yang mengandalkan otak kanan atau malah kadang menjadi Tuk Bayan Tula, ketika memberi kuliah malam kepada para serdaduku, laskar pelangiku, di markas IlmuKomputer.Com. Kuliah malam tentang hakekat kehidupan, apa arti cinta, apa arti persahabatan, apa arti perdjoeangan dan apa arti kehidupan kita ini. Menyelesaikan masalah-masalah anak muda, dari bagaimana memilih jurusan kuliah yang baik, bagaimana melakukan penelitian tugas akhir, bagaimana memilih chord gitar yang tepat untuk menyanyikan lagu ayat-ayat cinta atau takdir cinta ;), sampai masalah genting bagaimana memilih istri dan suami yang baik. Penjajah yang harus aku dan pasukanku hancurkan bukanlah berbentuk pasukan kumpeni belanda atau tentara bengis portugis, tapi kebodohan, ketidakmengertian dan kemunduran yang melanda republik ini.

Aku anggap inilah pilihan hidupku, untuk membayar pelan-pelan hutangku kepada rakyat, menghapus dosa dan maksiat yang aku lakukan, mengurangi rasa bersalahku kepada para jenius republik seperti Lintang, dan juga untuk melawan tantangan besar berupa comfort zone alias zona aman yang sering membuatku terlena dari nafas perdjoeangan. Mungkin tidak semua orang bisa memahami pilihan hidupku, tidak juga para teman dan atasanku dulu di LIPI, teman-teman seperdjoeanganku di Jepang, dan bahkan kadang anak, istri dan keluargaku sendiri. Tapi suatu saat aku yakin mereka semua akan mengerti, meng-amini, dan memahami hakekat perdjoeangan ini dengan sepenuh hati 🙂

Di hari yang suci ini, aku ingin mohon maaf kepada istriku dan anak-anakku tercinta, adik-adikku, teman-temanku, sahabat-sahabatku, dan mahasiswa-mahasiswaku semua. Aku yakin sudah ratusan orang yang kecewa denganku, juga puluhan orang menangis karenaku, bahkan sampai sesenggukan didepanku 🙁 Aku kadang harus bersikap keras, karena aku sayang kepada kalian semua. Aku tidak ingin kita gagal dan mengulang kesalahan para pendahulu kita. Waktu kita sangat pendek, sekali lagi, kewajiban kita jauh lebih banyak daripada waktu yang diberikan Allah kepada kita. Malulah kita dengan perdjoeangan keras 10 orang laskar pelangi yang pontang-panting mengejar cita-cita mereka untuk sekolah dan keinginan untuk mengubah kehidupan mereka.

Di umur yang ke-34 ini aku ingin tetap tegar bersenandung Laskar Pelangi, meskipun tentu tidak sebagus Nidji :). Meskipun tubuhku semakin rapuh, ubanku semakin banyak dan tulangku semakin usang, aku tidak akan pernah menyerah. Aku akan mengejar pelangiku dan cita-citaku sampai ke ujung cakrawala.

Permintaanku sederhana, tolong pahami dan dampingi aku dalam perdjoeangan ini !

Tetap dalam perdjoeangan!

ttd-small.jpg