Komunitas Terdidik: Belajar dari Jepang
Opini kecil, yang saya tulis sewaktu masih tinggal di Jepang. Pernah dimuat di kolom Opini, Surat Kabar Republika, tanggal 15 Juli 2002.
Tiada hari terlewatkan tanpa membaca surat kabar Indonesia melalui Internet. Di sana-sini bermunculan berita mengenai rusaknya moral dan carut marutnya kepribadian masyarakat Indonesia, layaknya sebuah bangsa yang tidak terdidik. Dan kerusakan ini secara signifikan dan menyeluruh melanda berbagai golongan masyarakat Indonesia, dari pejabat atas, menengah sampai rendah, dari anggota DPR sampai menular ke masyarakat umum. Kemudian kalau kita menyimak berita-berita Internasional, sudah menjadi hal yang lazim, bahwa Indonesia selalu memenangi kontes-kontes internasional yang berhubungan dengan sifat buruk. Dari masalah besarnya jumlah korupsi, pelanggaran HAM, pembajakan software, sampai rendahnya masalah sumber daya manusia (SDM).
Pada tulisan ini, penulis mencoba menguraikan tentang bagaimana sebuah komunitas terdidik (knowledged community) dan beradab itu sebenarnya bisa terbentuk dari sesuatu hal yang sangat sederhana.
Dari mengamati perilaku kehidupan masyarakat Jepang, sebenarnya tergambar bagaimana sebuah komunitas terdidik terlahir dari suatu sifat dan sikap yang sederhana. Yang pertama mari kita lihat bagaimana orang Jepang mengedepankan rasa “malu”. Fenomena “malu” yang telah mendarah daging dalam sikap dan budaya masyarakat Jepang ternyata membawa implikasi yang sangat luas dalam berbagai bidang kehidupan. Penulis cermati bahwa di Jepang sebenarnya banyak hal baik lain terbentuk dari sikap malu ini, termasuk didalamnya masalah penghormatan terhadap HAM, masalah law enforcement, masalah kebersihan moral aparat, dsb.
Bagaimana masyarakat Jepang bersikap terhadap peraturan lalu lintas adalah suatu contoh nyata. Orang Jepang lebih senang memilih memakai jalan memutar daripada mengganggu pengemudi di belakangnya dengan memotong jalur di tengah jalan raya. Bagaimana taatnya mereka untuk menunggu lampu traffic light menjadi hijau, meskipun di jalan itu sudah tidak ada kendaraan yang lewat lagi. Bagaimana mereka secara otomatis langsung membentuk antrian dalam setiap keadaan yang membutuhkan, pembelian ticket kereta, masuk ke stadion untuk nonton sepak bola, di halte bus, bahkan untuk memakai toilet umum di stasiun-stasiun, mereka berjajar rapi menunggu giliran. Mereka malu terhadap lingkungannya apabila mereka melanggar peraturan ataupun norma yang sudah menjadi kesepakatan umum.
Hal menarik berikutnya adalah bagaimana orang Jepang berprinsip sangat “ekonomis” dalam masalah perbelanjaan rumah tangga. Sikap anti konsumerisme berlebihan ini nampak dalam berbagai bidang kehidupan. Sekitar 8 tahun yang lalu, masa awal-awal mulai kehidupan di Jepang, penulis sempat terheran-heran dengan banyaknya orang Jepang ramai belanja di supermarket pada sekitar pukul 19:30. Selidik punya selidik, ternyata sudah menjadi hal yang biasa bahwa supermarket di Jepang akan memotong harga sampai separuhnya pada waktu sekitar setengah jam sebelum tutup. Seperti diketahui bahwa Supermarket di Jepang rata-rata tutup pada pukul 20:00. Contoh lain adalah para ibu rumah tangga yang rela naik sepeda menuju toko sayur agak jauh dari rumah, hanya karena lebih murah 10 atau 20 yen. Juga bagaimana orang Jepang lebih memilih naik densha (kereta listrik) swasta daripada densha milik negeri, karena untuk daerah Tokyo dan sekitarnya ternyata densha swasta lebih murah daripada milik negeri. Dan masih banyak lagi contoh yang sangat menakjubkan dan membuktikan bahwa orang Jepang itu sangat ekonomis.
Secara perekonomian mereka bukan bangsa yang miskin karena boleh dikata sekarang memiliki peringkat GDP yang sangat tinggi di dunia. Mereka juga bukan bangsa yang tidak sibuk atau lebih punya waktu berhidup ekonomis, karena mereka bekerja dengan sangat giat bahkan terkenal dengan bangsa yang gila kerja (workaholic). Tetapi hebatnya mereka tetap memegang prinsip hidup ekonomis. Ini sangat bertolak belakang dengan masyarakat negara-negara berkembang (baca: Indonesia) yang bersifat sangat konsumtif. Terus terang kita memang sangat malas untuk bersifat ekonomis. Baru dapat uang sedikit saja sudah siap-siap pergi ke singapore untuk shopping, atau beli telepon genggam baru.
Sifat berikutnya adalah masalah “sopan santun dan menghormati orang lain”. Masyarakat Jepang sangat terlatih refleksnya untuk mengatakan gomennasai (maaf) dalam setiap kondisi yang tidak mengenakkan orang lain. Kalau kita berjalan tergesa-gesa dan menabrak orang Jepang, sebelum kita sempat mengatakan maaf, orang Jepang dengan cepat akan mengatakan maaf kepada kita. Demikian juga apabila kita bertabrakan sepeda dengan mereka. Tidak peduli siapa yang sebenarnya pada pihak yang salah, mereka akan secara refleks mengucapkan gomennasai (maaf).
Kalau moral dan sifat-sifat sederhana dari orang Jepang, seperti malu, hidup ekonomis, menghormati orang lain sudah sangat jauh melebihi kita, ditambah dengan majunya perekonomian dan sistem kehidupan. Sekarang marilah kita bertanya kepada diri kita, hal baik apa yang kira-kira bisa kita banggakan sebagai bangsa Indonesia kepada mereka ?
Bangsa Indonesia bukan bangsa yang bodoh dan tidak mengerti moral. Kita bisa menyaksikan bahwa mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang sedang belajar Jepang, Jerman, Amerika dan di negara -negara lain, banyak sekali yang berprestasi dan tidak kalah secara ilmu dan kepintaran. Demikian juga kalau kita bandingkan bagaimana para pengamat dan komentator Indonesia menguraiakan analisanya di televisi Indonesia. Selama hidup 8 tahun di Jepang penulis belum pernah menemukan analisa pengamat dan komentator di televisi Jepang yang lebih hebat analisanya daripada pengamat dan komentator Indonesia. Dan ini menyeluruh, dari masalah ekonomi, politik, sistem pemerintahan bahkan sampai masalah sepak bola.
Akan tetapi sangat disayangkan bahwa fakta menunjukkan, secara politik dan sistem pemerintahan kita tidak lebih stabil daripada Jepang, secara ekonomi kita jauh dibawah Jepang. Dalam masalah sepakbola juga dalam waktu singkat Jepang sudah berprestasi menembus 16 besar pada piala dunia tahun 2002 ini, sementara kita sendiri masih berputar-putar dengan permasalahan yang tidak mutu, dari masalah wasit, pemain sampai kisruhnya suporter.
Mengambil pelajaran dari kasus yang telah diuraikan penulis diatas. Ternyata kepintaran dan kepandaian otak kita adalah tidak cukup untuk membawa kita menuju suatu komunitas yang terdidik. Justru sikap dan prinsip hidup yang sebenarnya terlihat sederhana itulah akan secara silmultan membentuk suatu bangsa menjadi bangsa besar dan berperadaban.
selama 1 tahun di jepang, saya terkagum-kagun dengan cara hidup mereka, mereka sibuk tapi tidak boros, mereka buru-buru tapi sangat menghormati orang lain, bagi mereka tidak ada yg namanya masalah kecil dan besar, semuanya adalah sesuatu yg harus di perbaiki sebelum terjadinya kehancuran..
salah satu contoh antri, kadang di sini budaya antri sudah ada namun budaya mendahulukan belum ada, dan hampir sama sekali tidak perduli dengan sekitar dengan befikir gue sudah bayar..:(
terima kasih semuanya…..jadi terharu masih ada orang yang melihat dan berfikir untuk kemajuan Republik ini…….tulisan ini sangat memotivasi saya untuk selalu lebih baik. tx
Tak ada salahnya kita mencoba belajar dari negara jepang akan sebuah nilai nilai yang sebelumnya kita tidak punya, atau bahkan terabaikan,
Tapi Semangatlah untuk bangsaku Indonesia.
Ya ambillah yang baik (positif), buang jauh-jauh semua yang buruk, dan perbaiki dengan segera….keburukan itu.
BANGKITLAH NEGERIKU, HARAPAN ITU MASIH ADA!!!
Miris sekali rasanya mendengar comment tentang Indonesia
sementara kita sendiri ini adalah bagian dari Bangsa Indonesia …
Semoga Bangsa Indonesia mau bercermin dan belajar dari kesalahan. Semoga Bangsa ini bisa lebih maju dan lebih baik lagi suatu saat nanti amin
Etos kerja orang Jepang patut dicontoh dan diteladani.. Tetapi menurut saya, bangsa Indonesia masih punya keunggulan yang lain. Tetap harsu bangga menjadi bangsa Indonesia
kunjung…..
makasih ya,,,
mudah-mudahan bisa mengamalkan dengan sebaik-baiknya,,
ilmu yang bapak dapatkan dari negara japan itu..
jepang bisa seperti itu, kata kuncinya adalah attitude/sikap/prilaku.
yang perlu kita cari sekarang ini adalah solusi, agar keluar dari krisis ini.
salah satunya yaitu : mari kita lakukan yang terbaik dibidang kita masing-masing dan saling bersinergi.
untuk bidang pendidikan, saya merekomendasikan pendidikan karakter yang mengoptimalkan otak kanan, lebih lanjut kunjungi : http://antontenera.wordpress.com
salam
seharusnya indonesia lebih di tigkatkan peraturanya seperti di negara Jepang. 🙂
Masyarakat Indonesia pun sebenarnya sangat mengenal budaya malu dan sopan santun, hanya saja sikap-sikap tersebut tidak mendarah daging dan cenderung luntur dari budaya kita, budaya konsumtif yang sangat luar biasa juga menumbuhkan akibat menurunnya kualitas sumber daya manusia Indonesia. Belajar dari budaya jepang ini harusnya menyadarkan kita bahwa sebenarnya kita bisa.
saya belum pernah ke jepang tapi sering ndenger cerita begitu baiknya sikap dan perilaku orang jepang. saya juga sering ponton film jepang terrasuk film dewasanya. saya perhatikan : “film dewasa jepang itu sadis banget (cewek sering jadi objek permainan lelaki, film indonesia juga gitu tapi ngga sesadis film jepang). yang saya heran : ‘kok bisa yah orang-orang modern dan beradab seperti jepang punya pikiran nyeleneh (=memperlakukan wanita semaunya sendiri)???”…