Wahai Dosen, Berbicaralah dengan Bahasa Manusia!
Itulah teriakan para mahasiswa kepada dosennya, yang mungkin nggak pernah tersampaikan, dan saya yakin akan menjadi blunder kalau diungkapkan. Kecuali bagi para mahasiswa yang memiliki kebebasan nilai IPK, kebebasan pola pikir, kebebasan penelitian, kebebasan finansial dan kebebasan ketergantungan serta ketaatan kecuali kepada satu yang Diatas. Mahasiswa pedjoeang yang tetap mau mengatakan kebenaran meskipun itu sangat sulit, pahit dan sakit. Tidak saya rekomendasikan, karena ungkapan semacam “Sensei no jugyo wa sonna naiyo deshitara, i-me-ru de okutta hou ga yoi dewanai deshouka?” (kalau isi kuliahnya kayak gitu, lebih baik kalau anda kirimkan ke saya lewat email saja prof) :), saya jamin akan membuat nilai kita jadi Fuka alias tidak lulus. Jangan dilakukan, cukup saya yang jadi korban harus mengambil mata kuliah yang sama selama tiga tahun berturut-turut, sampai akhirnya harus puas mendapatkan nilai Ka alias C dari sang Professor. Professorku yang akhirnya jadi sahabatku dan membimbing penelitianku, meskipun tetap tidak bisa menghilangkan cacat nilaiku π
Mungkin itu salah satu tema diskusi ketika bertemu dengan teman-teman dosen di Puskom UNS Solo. Workshop, meskipun dengan undangan mendadak, tapi bak wangsit yang memberi tanda ke insting saya bahwa acara ini wajib saya datangi. Bukan hanya karena telepon mbak Jatu yang merdu yang meminta saya untuk sekalian mabid sambil ngisi liqo di UNS Solo hehehe, atau karena kesabaran mas Kurnia yang ngejar kereta saya dari Boyolali dengan motor bututnya, dan akhirnya berhasil menjemput saya jam dua pagi di Stasiun Balapan Solo, dan juga bukan karena sodoran kertas untuk tanda tangan dari mbak Asih π Saya merasa perlu mengajak bapak ibu dosen untuk kembali memperhatikan mahasiswa kita.
Saya sebenarnya dalam keadaan kepenatan yang luar biasa pada waktu itu. Dua hari di Yogyakarta, hari Selasa (19 Agustus 2008) di STMIK Amikom untuk memberi materi tentang kesiapan kerja wisudawan dan Rabu (20 Agustus 2008) ke Universitas Atmajaya Yogyakarta mbantu pak Irya ngompori dosen-dosen untuk membuat eLearning content. Hari ketiga, perjalanan darat selama 5 jam antara Jogja-Purwokerto meluluh lantakkan kekuatan saya, memporak porandakan kemampuan otak kiri saya, membenamkan senyum saya sampai ke titik nadir (halah! ;)). Mandi, sholat, sarungan, datangnya pesan perdjoeangan sang istri dan diskusi dengan para prajurit saya, garda depan Romi Satria Wahono’s Army alhamdulillah membangkitkan kekuatan saya. Revolusi belum selesai bung, perdjoeangan harus tetap dilakukan! π Alhamdulillah setelah acara seminar grand opening prodi Teknik Informatika di Unsoed selesai, saya bergegas, meninggalkan kopi ginseng saya ke mas Adnan (thanks om), meloncat ke kereta Bima yang merayap senyap menuju kota Solo.
Kembali ke tema bahasan, saya mengajak bapak ibu dosen di UNS Solo untuk mencoba memikirkan kembali hakekat kita ngajar. Ngajar mahasiswa mengandung makna besar mendidik dan membina generasi muda kita. Dalam sejarah kebangkitan bangsa-bangsa, peran mahasiswa selalu tercatat, menjadi garda depan perubahan, kontribusinya sangat besar dan dominan. Mahasiswa adalah anasirut taghyir alias agen perubahan yang akan mewarnai masa depan dan membentuk karakter suatu bangsa. Bayangkan, pendidikan dan pembinaan orang-orang seperti itu diserahkan ke kita, para dosen dan pendidik. Beban berat yang harus kita pikul dan perlu perdjoeangan untuk melaksanakannya dengan sungguh-sungguh.
Saya sempat melakukan studi kecil-kecilan, tentang harapan mahasiswa kepada dosennya. Dosen seperti apa yang sebenarnya mereka harapkan. Cukup menakjubkan, bahwa mahasiswa sangat jujur menilai kita. Sebenarnya posting ini adalah satu otokritik kepada diri saya sendiri, karena masih banyak karakter saya yang mungkin tidak diharapkan oleh mahasiswa. Kalau kita simpulkan ada empat karakteristik dosen yang diharapkan mahasiswa, dan jujur saja akan mereformasi dan mengantarkan kita menjadi sosok Dosen 2.0 π
-
Memiliki Kemampuan Verbal: Pintar jangan untuk diri sendiri, tapi juga untuk orang lain. Bahasa gampangnya, permintaan mahasiswa kepada kita supaya belajar untuk mengajar, dan bukan hanya belajar untuk diri kita sendiri. Dosen diharapkan punya keseimbangan dalam pengetahuan taksit (know-how dan pengalaman lapangan) dan pengetahuan eksplisit (tertulis di textbook dengan berbagai teoritikalnya). Beri mahasiswa lebih banyak pengetahuan taksit karena know-how dan pengalaman lapangan yang kita miliki akan membuka wawasan mereka lebih luas. Memanjang-lebarkan penjelasan ke bahasan yang sudah jelas bin cetho tertulis di buku akan membuat kuliah kita jadi kering, garing dan membosankan. Kebiasaan kita dalam menggunakan bahasa sulit dalam menjelaskan suatu hal juga dikritik, ditambah dengan nafsu untuk memasukkan semua materi kuliah ke slide presentasi. Jangan buat kacamata kita semakin tebal, itu harapan para mahasiswa π Mari kita gunakan bahasa manusia yang baik dan benar, dosen datang untuk memahamkan ke mahasiswa, bukan untuk menambah pusing mahasiswa yang sudah pusing dengan tugas mandiri, UTS danΒ UAS π
-
Memiliki Kemampuan Tulis: Kritikan paling tajam adalah kebiasaan kita menggunakan bahasa tulis ala paper yang dingin dan formal. Ngeblog adalah terapi yang sangat efektif mengatasi kelemahan kita yang tidak terbiasa menggunakan bahasa manusia dalam menulis. Posting artikel populer dalam bentuk journal pribadi yang banyak menggunakan ungkapan hati ala blog, akan mereformasi gaya tulisan kita. Menulislah dengan hati, karena kekuatan kata-kata kita akan memberikan motivasi tinggi kepada para mahasiswa dan mahasiswi. Jangan pernah nyontek tulisan orang lain karena itu akan blunder, membuat generalisasi negative image ke semua perilaku kita. Apalagi kalau menerapkan standard ganda dengan membuat tidak lulus mahasiswa yang melakukan copy-paste pada laporan tugas mandirinya. Kegiatan copy-paste mahasiswa kadang harus disikapi dengan bijak, mungkin mereka belum kita ajarkan tentang peraturan APA masalah pengambilan referensi dan pembuatan kutipan. Justru copy-paste yang dilakukan dosen dan pendidik adalah penghianatan besar, membuat damage yang sangat luas ke lingkungan dan kegiatan hina yang tidak termaafkan.
-
Open Mind dan Karakter Berbagi: Terbuka, jujur dan mau menerima kritik adalah sifat penting yang diharapkan mahasiswa ke dosennya. Karakter ringan tangan, senang berbagi ilmu dan project ;), mau bergaul dengan mahasiswa dan bahkan mendekati mereka dengan “bahasa mereka” adalah sifat yang menentramkan mahasiswa. Mahasiswa, selain sebagai murid, juga adalah teman, partner dan customer dari sang dosen. Janganlah dosen bersifat terlalu jaim, jayus apalagi jablai, karena itu akan membuat mahasiswa makin tidak simpatik. Kalau sudah nggak simpatik, sebaik apapun ilmu pengetahuan dan nasehat yang kita berikan akan hancur, musnah dan mahasiswa akan main hati (romi and the backbone) π Mari kita menjaga hati mereka dan memberikan janji suci (romi and nuno) kepada para mahasiswa, “wahai para mahasiswaku, senyummu juga sedihmu, adalah hidupku“. Kalau perlu sebutkan dengan ikhlas, “akulah penjagamu, akulah pelindungmu, akulah pendampingmu, di setiap langkah-langkahmu (romi maulana, gigi)“. Dijamin mahasiswa kita pasti klepek-klepek dan mengatakan “everything i do, i do it for you sir …” π Kadang mengikuti behavior mereka dengan membuat account friendster dan facebook juga bukan pilihan buruk. Meminta mereka membuat laporan dalam bentuk tulisan lewat fitur blog di friendster kadang saya lakukan untuk men-terapi mahasiswa-mahasiswa saya yang sudah sulit dikendalikan lewat cara konvensional π
-
Memiliki Kemampuan Teknis: Cukup mengejutkan bahwa technical skill ternyata bukan hal utama yang diharapkan oleh mahasiswa ke dosennya. Sudah menjadi hal yang jamak bahwa kemampuan teknis khususnya yang berhubungan dengan pengetahuan eksplisit, sebenarnya bisa didapat dari berbagai literatur, buku dan ebook yang didapat dengan mudah oleh mahasiswa lewat internet. Dosen diharapkan oleh mahasiswa untuk jujur, kalau memang nggak ngerti ya bilang saja nggak ngerti, jangan malah muter-muter dan bikin pusing mahasiswa π Perlu saya beri catatan khusus, pada jurusan computing, mahasiwa kita kadang punya technical skill yang lebih tinggi daripada kita, misalnya berhubungan dengan programming, troubleshoting, dan trend teknologi. Berkata tidak tahu, adalah suatu hal yang biasa dalam iklim pendidikan di kampus. Mengungkapkan akan mencoba mempelajari masalah itu dan dijadikan bahan diskusi pertemuan pekan depan, adalah jawaban dosen pedjoeang yang jujur dan bertanggungjawab. Sekali lagi, dosen nggak perlu keminter atau merasa lebih pinter daripada mahasiswanya untuk urusan skill teknis. Karakter dosen yang merasa menjadi newbie forever, selalu perlu belajar dan belajar lagi,Β selalu berdjoeang untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, dan berusaha keras menyelesaikan masalah mahasiswanya, adalah karakter wajib, dan sifatnya tidak hanya wajib kifayah, tapi wajib ain π
Untuk para dosen, sekali lagi, anak-anak muda, para pembaharu dan penentu masa depan bangsa ada di depan kita. Kitalah yang menentukan apakah mereka akan menjadi seorang pemimpin besar, mujaddid besar, dan ilmuwan besar, yang akan memperbaiki republik ini. Dan jangan lupa, bahwa bahwa kita jugalah yang akan membuat mereka menjadi penjahat dan koruptor besar yang akan memporak porandakan republik ini. Pilihan ada di tangan kita, para dosen.
Untuk para mahasiswa, beri kami kesempatan untuk berbenah dan memperbaiki diri. Insya Allah kami akan berusaha menjadi pembimbing dan pendidik yang baik untuk anda sekalian. Kami tidak menginginkan apapun dari kalian semua,Β selain harapan supaya mahasiswa tetap komitmen untuk belajar dan berdjoeang keras, serta pantang menyerah. Hentikanlah sikap main-main, selalu jaga karakter serius dan profesional dalam kegiatan berhubungan dengan tugas belajar. Bersikaplah seperti layaknya seorang ksatria dan agen perubahan, yang akan mengantarkan republik ini ke jalan yang lebih baik.
Tetap dalam perdjoeangan!
(*) Artikel ini juga diterbitkan oleh detik.com dengan judul yang sama dan redaksional yang sedikit berbeda
judul yang sangat langka dan mengejutkan, saluete mas Romi.
Slamat menunaikan ibadah shaum, maaf lahir bathin
sukses slalu.
tambahan dari saya..
mudeng sama yang namanya internet^^
Dosen 2.0; Guru 2.0;
Guru yang belakangan ini banyak berdemo minta gaji naik, so pasti harus menjadi guru yang berkualitas. Tidak hanya lulus sertifikasi jadi profesional. Teman-teman saya (satu kantor) yang lulus sertifikasi malah gagap teknologi.
Jangankan email, blog dan seabreg dunia internet, komputer microsoft word-pun tidak bisa.
He he he … Mari kita jadi guru 2.0;
Bravo Mas Romi….
http://trisnowlaharwetan.net
http://trisnowlaharwetan.wordpress.com
Keterbukaan antara mahasiswa dan dosen memang perlu. Kerap kali kita dapati dosen yang merasa sangat pintar daripada mahasiswa. tapi, tak apa lah. Yuk kita berpikir positif demi kemajuan bersama. Saling mengingatkan. saling menyapa, dan berbagi. bukan begitu pak Romi?
oh,ya, nih saya pingin ngasih hadiah buku. caranya mudah, silahkan klik aja http://rusdin.wordpress.com
ok.
makasih……
Salam perjoengan!!!!
Rusdin S. Rauf, Penulis buku Best Seller Quranic Law of Attraction
emang mantebh dagh bapa dosen kita yg atu ini. guwe ude jadi anak muridnya kemaren di salemba. itu loh pa, atu-satunya yg gondrong dengan rante paling jelek.
hueuhehue…
tukeran link yah pak π
http://nyurian.wordpress.com
tulisannya mantab banget,u/ para guru,dosen/pengajar lainya,kayaknya memerlukan suatu metode dalam berkomunikasi jadi dalam penyampaian tidak disalah artikan.
perlu pendekatan antar guru/dosen-siswa/mahasiswa dan sebaliknya.
thnx.artikelnya sangat membantu, tidak hanya dalam dunia pendidikan, u/ kehidupan sehari2 juga sangat bagus.
MERDEKA
sayangnya masih banyak pendidik di negara kita tercinta yang kurang “mencurahkan” hidupnya dalam profesinya.
Andaikan Mendiknas dipilih melalui Pemilu, saya pasti nJagoin mAs Romi sebagai kandidat terkuat… π supaya bisa membangunkan tidur panjang pendidik kita akan tugas suci yang diemban. Bukan hanya mengejar sertifikasi dan menuntut kenaikan gaji tanpa dibarengi unjuk kerja yang sepadan. Merdeka..!!!
iyah biasanya dosen ngomongnya asal nyablak…. “itu kata kakak aq”
maklum lah DOSEN = nafas Dos-Dos..an kalo ngajar terus gajinya Sen-Sen..nan
pengen rasanya punya dosen kayak pak romi..
pasti seru… hehe
bener juga mas! thanks, sy juga kayaknya harus berbenah nih !
wah, sy juga kayaknya harus berbenah nih !
dosen gaul nih π
saya setuju atas uraian mas Romi. Menjadi pengajar harus enak, gaul, tidak seram, menakutkan, low profile, masuk sana dan sini enak aja.
Saya ga suka kalau pengajar yang galak. Kalau galak percuma, ilmunya susah ditransfer. Yang menerimanya jadi takut kepada pengajarnya dan ilmunya. Yang paling sering ketemu itu pada ilmu-ilmu eksakta (matematika, misalnya). Udah pelajarannya susah, gurunya galak lagi.
Wah jadi inget pengalaman tahun lalu mas Romi… Niat baik ngasih kritik biar pak dosen lebih dicintai sama mahasiswa berujung D. Parah!!! Sayang saja, masih muda lulusan Aussie yang biasanya liberal, kok jadi konservatif gini yah…
Ahai istilahnya
Dosen 2.0, kayak Web 2.0
Bercirikhas kolaborasi π
wah, benar pak. sepertinya banyak dosen yang masih perlu belajar untuk berbicara dan mengajar dengan baik.
kapan mau bikin album pak
“Romi and the Bacbone”
he he he he
ya.. semoga para dosen tahu akan hal ini. amien..
bagi kita yang mahasiswa, mari menjadi mahasiswa yang bijak..
π
terima kasih mas..
om romi , boleh saya kutip artikelnya untuk majalah kampus. (kl boleh; lambang kampus saya ada di salah satu dari banyak lambang di halaman utama.)
dosen tidak berbicara sederhana. biar dikira pinter.
tapi, yang ada mahasiswa makin bingung. ujunh-ujungnya nanya mbah google lagi..:capede:
#pwlz: silakan mas, nah kampusnya mana? Dg senang hati aku masukkan π
Assalaamu’alaikum wrwb
Met ketemu lagi Mas Romi, mudah2an masih ingat saya, terakhir ketemu di Tokyo tahun 2004, waktu itu pas ada sebuah kajian.
Sudah lama sebetulnya saya menikmati tulisan2 Mas Romi, hanya intip2 aja π
Khusus untuk tulisan yang ini, jadi inget jadul kuliah dulu di bandung, transfer ilmu dari para dosen lebih sering tidak terjadi dengan baik karena no 1-3 kurang dimilik, padahal no 4 boleh diakui kemampuannya dosen2 saya itu.
Makasih Mas Romi pencerahannya.
Main-main ya ke blog saya, baru bikin, baru nyadar ternyata ngeblog menarik juga, ketinggalan kali ya saya :D.
Salam
http://agustian.com
http://agustian.wordpress.com
Assalamu’alaikum wrwb
Waduh………senang sekali bisa tau dan kenal Bapak,kmarin saya mengikuti acara talkshow ospek departemen informatika IT telkom, mengenai tulisan “WAHAI DOSEN BERBICARAlah DENGAN BAHASA MANUSIA” memberikan motivasi kepada saya yang kebetulan baru tingkat satu, bahwa memang ini dunia baru saya.
Wah…..wktu mendengar pengalaman Bapak,saya jdi mencoba untuk terus berusaha menulis. karena ternyata tidak mudah. ‘afwan sblumnya ya Pak.
Setubuh,bro…eh setuju maksudnya hehe..
Saya setuju dengan opini anda, tetapi jaman sekarang berpa perbandingan dosen yang memenuhi kriteria di atas dan tidak?
Mungkin para dosen “nakal” harus ikutin pelajaran lagi.
Tapi para mahasiswa juga harus ikut serta di dalamnya. Kritis namun beretika dan berpegang pada norma-norma sosial dan hukum yang berlaku.
dosen juga manusia…
yang harus banyak belajar selain mengajar….
wah, asyiknya kalau banyak dosen juga jadi guru liqo π
pasti banyak ilmunya
satu yg kriteria dosen 2.0 yg terlewat :
harus memiliki kemampaun untuk belajar kepada mahasiswanya, ibarat dagang produk dapat di-improve kalo ada feedback dari konsumen… nah pertanyaannya, sudahkah legowo para Bapak dosen untuk menerima feedback dan belajar dari mahasiswanya ?
Salam kenal bos, kemarin barusan dari uns solo, setuju banget dosen harus pakai bahasa manusia bukan bahasa mesin, hehe.. tapi sekarang yang menjadi PR besar bagaimana menggerakkan dosen yang punya bahasa selain manusia tersebut? kalau tidak atas kesadaran sendiri? pakai kebijakan harus dari atas, pakai motivasi dan dorongan? dah ndak mempan.. harus pakai apa lagi donk…
klo dosennya berkualitas… mahasiswanya bisa mmepunyai peluang yg lbh utk berkualitas juga
Wuiiihhhh
“jlebbb”
lumayan dalem pak
mudah2an jadi pelajaran buat yg lain
emm…belum masuk bangku kuliah sih, tapi sepertinya sikap-sikap seperti itu bukan hanya ada di dosen deh, guru-guru sekolah juga banyak yang kaya gitu. seperti guru-guru di sekolahku, khususnya guru akuntansi. kadang-kadang hanya memberikan tugas lalu datang dan pergi begitu saja π memberi nilai asal-asalan, lamban, dan tidak cekatan. Wahai pengajar-pengajar indonesia, bersikaplah seperti manusia! π
pak, saya malu jadi mahasiswa yang serba terbatas! terbatas dalam menyampaikan aspirasi, terbatas dalam memperjuangkan hak-hak ku sabagai mahasiswa dan terbatas dalam mencari ilmu..
atau bisa disebut MAHASISWA YANG SELALU DIBATASI
Pasti banyak sekali yang tersindir oleh postingan bapak.. hehehe..
Saya sering tersasar ke blog bapak tapi kayaknya ini komentar pertama saya
wahh mantabzz banget nih tulisan, pengen rasanya nih tulisan saya kirim ke dosen2 saya. terutama pak chan (mas romi kenal kan ) ooppss kepleset nyebut nama
menurut kamus besar bahasa indonesia (KBBI) edisi ketiga terbitan balai pustaka, kata didik memiliki arti: v memelihara dan memberikan latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran;.
sementara kata ajar, memiliki arti: n petunjuk yg diberikan kpd orang supaya diketahui (diturut);
sementara pun kata dosen, memiliki arti: tenaga pengajar pd perguruan tinggi;
pada tulisan mas Romi ini, terdapat kalimat dosen dan pendidik, apakah kalimat tersebut memiliki arti ada dosen dan ada pendidik dalam perguruan tinggi? atau apakah dosen juga sekaligus pendidik? sementara menurut KBBI, dosen itu tenaga pengajar, bukan pendidik (?).
Salam kenal pak Romi
Seperti biasa ulasan pak Romi sangat dalem sekali, kena banget! top dech pak Romi, kita memang perlu sekali dengan topik2 tulisan seperti ini agar dapat membuka lebar2 bagi kemajuan bangsa kita, dan meninggalkan semua tradisi2 feodalisme yang negatif. Kadang juga heran, orang Indonesia itu gampang banget kalau meniru budaya luar terutama budaya barat, tetapi sayangnya yang ditirunya kebanyakan budaya2 yang justru negatifnya seperti alkoholnya, sex dan pergaulan bebas dll, tapi kalau budaya2 mereka yang positif, seperti pekerja keras, open minded, membaca, belajar, kreativitas, dll, kok kayaknya orang Indonesia gak mau nurutin ya? kenapa ya dengan bangsa ini? jadi dengan adanya orang semacam pak Romi ini bisa jadi angin segar yang menyejukkan dan tetesan hujan yang akan menyuburkan pohon2 perjuangan bagi kemajuan bangsa Indonesia dimasa depan, amiien…
Wassalam
Hendra Leonar
http://www.ubb.ac.id
mungki di Indonesia dosennya masih vrsi 1.3….walau tidak semuanya….
Saya banyak menemui banyak dosen saya, profesor saya…ada yang pandai tuk dirinya sendiri…kita kesulitan mengikuti alur pikir dan pembicaraannya….memang ada yang pandai menulis ,tapi dak begitu pandai menjelaskan…..
komen sambil dengerin seminar pak Romi di UC π
pengalaman pribadi dedi:
temen dedi pernah mengkritik dosen yang sedikit arogan lewat email, trus email tmen itu tidak dibalas (mungkin tersinggung dan marah),
tapi balasan sang dosen melainkan merubah pola pikirnya dan mau menuruti kemauan mahasiswanya….
dan hanya beberapa kali pertemuan saja dosen tsb beruhab, lalu kembali ke sifat aslinya yang “AROGAN”(artinya dosen tsb mau menuruti mahasiswanya hanya unt beberapa kali pertemuan, selanjutnya mereka kembali ke sifat/pola pikir pengajaran semula)
tapi temen dedi sendiri juga mendapatkan nilai lebih (B+) dari pada mahasiswa lain (rata2/paling tinggi B)..
paghee.. Bg.
Selama di jepun apa gak ngerasa penjelasan dosen itu “oni” banget.. Abiss.. bhsnya aja udah bikin keder, kalo jujur2an 70persen ngerti sisane kira2 truz dipastiin belakangan ya Bg? Pengalaman Bg Romi ktk diajar org jepun gimana sie.. Thz ya Bg,,
Minta izin untuk Copas untuk diletakkan di blog saya pak
thanx yah.
salam kenal syaa omi pak romi.
apa yang disampaikan mahasiswa ke bapak merupakan hal klasik, bahkan sejak saya kuliah tahun 1999 saya sbagi mahasiswa juga mengeluh hal yang sama. saat ini saya mengajar di sebuah PTS di yogya. sudah berlangsung hampir 3 th. saya mengajar karena panggilan jiwa untuk berbagi ilmu dengan adik2 yang lebih mudah atau sedang belajar di PT. Permasalahannya tidak hanya dari dosen saja, tetapi dari mnahasiswa juga. mahasiswa sekarang lebih banyak yang kurang mau berjuang untuk belejar. maunya di “loloh: bahasa jawa” atau bahasa kerennya kurang kreatif. sedikit- sedikit mengeluh…. nah mental ini juga menambah ketidak puasan mahasiswa kepada dosen. tetapi kurangnya mahasiswa menyadari bahwa dirinya adalah faktor utama kesuksesannya.
Saya menerapkan gaya “sahabat”, apa yang kurang dan harus diperbaiki oleh saya sebagai dosen dalam mengajar saya diskusikan.Bahkan diskusi bisa diluar kelas atau by chatting.ya.. gak semua bahkan hanya segelintir mahasiswa yang mau masuk forum saya.
mengenai e-learning untuk dosen.. pak romi…
sudah tahun2 kemarin dulu saya ngompori teman2. bahkan saya rela membuatkan dan mereka tinggal pakai…gratis lagi… gak banyak juga yang respon.., dengan alasan sibuk, gak sempat, bal.. bla…
semoga kedepan dosen kita lebih kreatif ya pak….
saya hadir di seminar pak romi di KAMPUS UAD bulan oktober itu lho…skrang saya jualan e- learning…
banyak dosen/guru yg tidak 2.0 karena pas testnya juga cuma test tertulis, seperti PNS biasanya. Seharusnya khusus dosen/guru ditest juga kemampuan mengajar secara verbal, sehingga dapat dilihat kemampuannya menyampaikan materi kpd siswanya.
wah thx for sharing Mas Rommy… Kapan ya sy bisa upgrade ke mode 2.0 hehehe.. sy juga dosen. Blom sempat ngajar, dpt kesempatan untuk ambil S2 di LN, pulang ngajar u/ pertama kali sy sadar betapa berbeda tipe mhs jaman saya (1995) dg mhsw yg saya hadapi (2006). Mhsw sekarang lbh ingin diakui eksistensi dirinya, kritis dan butuh tantangan. Sy merasakan betapa model komunikasi satu arah tidak berlaku. Kelas sy dihadiri 10 msh (30%), akhirnya berkembang menjadi 80%, dg lbh banyak mendengar dan memberikan kesempatan berkreasi. Msh perlu belajar banyak u/ menjadi dosen yg baik. Yg jelas kemampuan berkomunikasi sangat vital, dan ini perlu jam kerja yg lbh tinggi.