Wahai Dosen, Berbicaralah dengan Bahasa Manusia!
Itulah teriakan para mahasiswa kepada dosennya, yang mungkin nggak pernah tersampaikan, dan saya yakin akan menjadi blunder kalau diungkapkan. Kecuali bagi para mahasiswa yang memiliki kebebasan nilai IPK, kebebasan pola pikir, kebebasan penelitian, kebebasan finansial dan kebebasan ketergantungan serta ketaatan kecuali kepada satu yang Diatas. Mahasiswa pedjoeang yang tetap mau mengatakan kebenaran meskipun itu sangat sulit, pahit dan sakit. Tidak saya rekomendasikan, karena ungkapan semacam “Sensei no jugyo wa sonna naiyo deshitara, i-me-ru de okutta hou ga yoi dewanai deshouka?” (kalau isi kuliahnya kayak gitu, lebih baik kalau anda kirimkan ke saya lewat email saja prof) :), saya jamin akan membuat nilai kita jadi Fuka alias tidak lulus. Jangan dilakukan, cukup saya yang jadi korban harus mengambil mata kuliah yang sama selama tiga tahun berturut-turut, sampai akhirnya harus puas mendapatkan nilai Ka alias C dari sang Professor. Professorku yang akhirnya jadi sahabatku dan membimbing penelitianku, meskipun tetap tidak bisa menghilangkan cacat nilaiku π
Mungkin itu salah satu tema diskusi ketika bertemu dengan teman-teman dosen di Puskom UNS Solo. Workshop, meskipun dengan undangan mendadak, tapi bak wangsit yang memberi tanda ke insting saya bahwa acara ini wajib saya datangi. Bukan hanya karena telepon mbak Jatu yang merdu yang meminta saya untuk sekalian mabid sambil ngisi liqo di UNS Solo hehehe, atau karena kesabaran mas Kurnia yang ngejar kereta saya dari Boyolali dengan motor bututnya, dan akhirnya berhasil menjemput saya jam dua pagi di Stasiun Balapan Solo, dan juga bukan karena sodoran kertas untuk tanda tangan dari mbak Asih π Saya merasa perlu mengajak bapak ibu dosen untuk kembali memperhatikan mahasiswa kita.
Saya sebenarnya dalam keadaan kepenatan yang luar biasa pada waktu itu. Dua hari di Yogyakarta, hari Selasa (19 Agustus 2008) di STMIK Amikom untuk memberi materi tentang kesiapan kerja wisudawan dan Rabu (20 Agustus 2008) ke Universitas Atmajaya Yogyakarta mbantu pak Irya ngompori dosen-dosen untuk membuat eLearning content. Hari ketiga, perjalanan darat selama 5 jam antara Jogja-Purwokerto meluluh lantakkan kekuatan saya, memporak porandakan kemampuan otak kiri saya, membenamkan senyum saya sampai ke titik nadir (halah! ;)). Mandi, sholat, sarungan, datangnya pesan perdjoeangan sang istri dan diskusi dengan para prajurit saya, garda depan Romi Satria Wahono’s Army alhamdulillah membangkitkan kekuatan saya. Revolusi belum selesai bung, perdjoeangan harus tetap dilakukan! π Alhamdulillah setelah acara seminar grand opening prodi Teknik Informatika di Unsoed selesai, saya bergegas, meninggalkan kopi ginseng saya ke mas Adnan (thanks om), meloncat ke kereta Bima yang merayap senyap menuju kota Solo.
Kembali ke tema bahasan, saya mengajak bapak ibu dosen di UNS Solo untuk mencoba memikirkan kembali hakekat kita ngajar. Ngajar mahasiswa mengandung makna besar mendidik dan membina generasi muda kita. Dalam sejarah kebangkitan bangsa-bangsa, peran mahasiswa selalu tercatat, menjadi garda depan perubahan, kontribusinya sangat besar dan dominan. Mahasiswa adalah anasirut taghyir alias agen perubahan yang akan mewarnai masa depan dan membentuk karakter suatu bangsa. Bayangkan, pendidikan dan pembinaan orang-orang seperti itu diserahkan ke kita, para dosen dan pendidik. Beban berat yang harus kita pikul dan perlu perdjoeangan untuk melaksanakannya dengan sungguh-sungguh.
Saya sempat melakukan studi kecil-kecilan, tentang harapan mahasiswa kepada dosennya. Dosen seperti apa yang sebenarnya mereka harapkan. Cukup menakjubkan, bahwa mahasiswa sangat jujur menilai kita. Sebenarnya posting ini adalah satu otokritik kepada diri saya sendiri, karena masih banyak karakter saya yang mungkin tidak diharapkan oleh mahasiswa. Kalau kita simpulkan ada empat karakteristik dosen yang diharapkan mahasiswa, dan jujur saja akan mereformasi dan mengantarkan kita menjadi sosok Dosen 2.0 π
-
Memiliki Kemampuan Verbal: Pintar jangan untuk diri sendiri, tapi juga untuk orang lain. Bahasa gampangnya, permintaan mahasiswa kepada kita supaya belajar untuk mengajar, dan bukan hanya belajar untuk diri kita sendiri. Dosen diharapkan punya keseimbangan dalam pengetahuan taksit (know-how dan pengalaman lapangan) dan pengetahuan eksplisit (tertulis di textbook dengan berbagai teoritikalnya). Beri mahasiswa lebih banyak pengetahuan taksit karena know-how dan pengalaman lapangan yang kita miliki akan membuka wawasan mereka lebih luas. Memanjang-lebarkan penjelasan ke bahasan yang sudah jelas bin cetho tertulis di buku akan membuat kuliah kita jadi kering, garing dan membosankan. Kebiasaan kita dalam menggunakan bahasa sulit dalam menjelaskan suatu hal juga dikritik, ditambah dengan nafsu untuk memasukkan semua materi kuliah ke slide presentasi. Jangan buat kacamata kita semakin tebal, itu harapan para mahasiswa π Mari kita gunakan bahasa manusia yang baik dan benar, dosen datang untuk memahamkan ke mahasiswa, bukan untuk menambah pusing mahasiswa yang sudah pusing dengan tugas mandiri, UTS danΒ UAS π
-
Memiliki Kemampuan Tulis: Kritikan paling tajam adalah kebiasaan kita menggunakan bahasa tulis ala paper yang dingin dan formal. Ngeblog adalah terapi yang sangat efektif mengatasi kelemahan kita yang tidak terbiasa menggunakan bahasa manusia dalam menulis. Posting artikel populer dalam bentuk journal pribadi yang banyak menggunakan ungkapan hati ala blog, akan mereformasi gaya tulisan kita. Menulislah dengan hati, karena kekuatan kata-kata kita akan memberikan motivasi tinggi kepada para mahasiswa dan mahasiswi. Jangan pernah nyontek tulisan orang lain karena itu akan blunder, membuat generalisasi negative image ke semua perilaku kita. Apalagi kalau menerapkan standard ganda dengan membuat tidak lulus mahasiswa yang melakukan copy-paste pada laporan tugas mandirinya. Kegiatan copy-paste mahasiswa kadang harus disikapi dengan bijak, mungkin mereka belum kita ajarkan tentang peraturan APA masalah pengambilan referensi dan pembuatan kutipan. Justru copy-paste yang dilakukan dosen dan pendidik adalah penghianatan besar, membuat damage yang sangat luas ke lingkungan dan kegiatan hina yang tidak termaafkan.
-
Open Mind dan Karakter Berbagi: Terbuka, jujur dan mau menerima kritik adalah sifat penting yang diharapkan mahasiswa ke dosennya. Karakter ringan tangan, senang berbagi ilmu dan project ;), mau bergaul dengan mahasiswa dan bahkan mendekati mereka dengan “bahasa mereka” adalah sifat yang menentramkan mahasiswa. Mahasiswa, selain sebagai murid, juga adalah teman, partner dan customer dari sang dosen. Janganlah dosen bersifat terlalu jaim, jayus apalagi jablai, karena itu akan membuat mahasiswa makin tidak simpatik. Kalau sudah nggak simpatik, sebaik apapun ilmu pengetahuan dan nasehat yang kita berikan akan hancur, musnah dan mahasiswa akan main hati (romi and the backbone) π Mari kita menjaga hati mereka dan memberikan janji suci (romi and nuno) kepada para mahasiswa, “wahai para mahasiswaku, senyummu juga sedihmu, adalah hidupku“. Kalau perlu sebutkan dengan ikhlas, “akulah penjagamu, akulah pelindungmu, akulah pendampingmu, di setiap langkah-langkahmu (romi maulana, gigi)“. Dijamin mahasiswa kita pasti klepek-klepek dan mengatakan “everything i do, i do it for you sir …” π Kadang mengikuti behavior mereka dengan membuat account friendster dan facebook juga bukan pilihan buruk. Meminta mereka membuat laporan dalam bentuk tulisan lewat fitur blog di friendster kadang saya lakukan untuk men-terapi mahasiswa-mahasiswa saya yang sudah sulit dikendalikan lewat cara konvensional π
-
Memiliki Kemampuan Teknis: Cukup mengejutkan bahwa technical skill ternyata bukan hal utama yang diharapkan oleh mahasiswa ke dosennya. Sudah menjadi hal yang jamak bahwa kemampuan teknis khususnya yang berhubungan dengan pengetahuan eksplisit, sebenarnya bisa didapat dari berbagai literatur, buku dan ebook yang didapat dengan mudah oleh mahasiswa lewat internet. Dosen diharapkan oleh mahasiswa untuk jujur, kalau memang nggak ngerti ya bilang saja nggak ngerti, jangan malah muter-muter dan bikin pusing mahasiswa π Perlu saya beri catatan khusus, pada jurusan computing, mahasiwa kita kadang punya technical skill yang lebih tinggi daripada kita, misalnya berhubungan dengan programming, troubleshoting, dan trend teknologi. Berkata tidak tahu, adalah suatu hal yang biasa dalam iklim pendidikan di kampus. Mengungkapkan akan mencoba mempelajari masalah itu dan dijadikan bahan diskusi pertemuan pekan depan, adalah jawaban dosen pedjoeang yang jujur dan bertanggungjawab. Sekali lagi, dosen nggak perlu keminter atau merasa lebih pinter daripada mahasiswanya untuk urusan skill teknis. Karakter dosen yang merasa menjadi newbie forever, selalu perlu belajar dan belajar lagi,Β selalu berdjoeang untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, dan berusaha keras menyelesaikan masalah mahasiswanya, adalah karakter wajib, dan sifatnya tidak hanya wajib kifayah, tapi wajib ain π
Untuk para dosen, sekali lagi, anak-anak muda, para pembaharu dan penentu masa depan bangsa ada di depan kita. Kitalah yang menentukan apakah mereka akan menjadi seorang pemimpin besar, mujaddid besar, dan ilmuwan besar, yang akan memperbaiki republik ini. Dan jangan lupa, bahwa bahwa kita jugalah yang akan membuat mereka menjadi penjahat dan koruptor besar yang akan memporak porandakan republik ini. Pilihan ada di tangan kita, para dosen.
Untuk para mahasiswa, beri kami kesempatan untuk berbenah dan memperbaiki diri. Insya Allah kami akan berusaha menjadi pembimbing dan pendidik yang baik untuk anda sekalian. Kami tidak menginginkan apapun dari kalian semua,Β selain harapan supaya mahasiswa tetap komitmen untuk belajar dan berdjoeang keras, serta pantang menyerah. Hentikanlah sikap main-main, selalu jaga karakter serius dan profesional dalam kegiatan berhubungan dengan tugas belajar. Bersikaplah seperti layaknya seorang ksatria dan agen perubahan, yang akan mengantarkan republik ini ke jalan yang lebih baik.
Tetap dalam perdjoeangan!
(*) Artikel ini juga diterbitkan oleh detik.com dengan judul yang sama dan redaksional yang sedikit berbeda
Pasti banyak sekali yang tersindir oleh postingan bapak.. hehehe..
Saya sering tersasar ke blog bapak tapi kayaknya ini komentar pertama saya…
Salam kenal pak Romi…
tambahan: Bukan hanya dosen aja pak ,, tapi banyak guru-guru di indonesia yang tidak sepenuh hati mengajar untuk mentransfer ilmu,, nampaknya sekarang hanya cuman formalitas mengajar sebagai profesi jadinya setengah2 deh ilmu yang tersampaikan…
wahh… mantabzz banget nih tulisan, pengen rasanya nih tulisan saya kirim ke dosen2 saya. terutama pak chan (mas romi kenal kan π ) ooppss… kepleset nyebut nama
Pasti ada rayuan yg melibatkan menu makanan, yg menyebabkan Romi ke Solo
menurut kamus besar bahasa indonesia (KBBI) edisi ketiga terbitan balai pustaka, kata “didik” memiliki arti: v memelihara dan memberikan latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran;.
sementara kata “ajar”, memiliki arti: n petunjuk yg diberikan kpd orang supaya diketahui (diturut);
sementara pun kata “dosen”, memiliki arti: tenaga pengajar pd perguruan tinggi;
pada tulisan mas Romi ini, terdapat kalimat “dosen dan pendidik”, apakah kalimat tersebut memiliki arti ada dosen dan ada pendidik dalam perguruan tinggi? atau apakah dosen juga sekaligus pendidik? sementara menurut KBBI, dosen itu tenaga pengajar, bukan pendidik (?).
Setuju.
#Arsi: Coba dianalisa lebih dalam lagi, dan bagusnya diimbangi dengan pendekatan definisi non-kamus π Kalau mau lebih mabok lagi, sebaiknya juga dibahas tuntas definsi: pelatih, pengajar, pendidik, pamong, guru, sensei, professor, instruktur, dosen, lecturer, dsb. Cek dari peraturan resmi (UU) tentang tugas pokok dan fungsi dosen juga kalau mau bagus. Analisa hanya dari definisi kamus akan membuat hidup kita agak kering π
Wah,.. sy udah cek berkali-kali. Sekarang udah di-posting betulan. π
Mas Romi,.. Sepertinya konsep DOSEN 2.0 ini masih perlu di perdetail. Tulisan di atas memang sangat memacu dosen untuk merubah paradigma tentang ‘how to communicate with their students’ secara umum. Tapi apa kalo dosen menjadikan blog/fs/facebook itu saja yang disebut dengan Dosen 2.0 ???
#Y2N: 4 Karakteristik itulah Dosen 2.0, nggak hanya karena punya fs/blog/fb π
Ok, saya dapat definisi dari Analisis Jabatan Dosen, di situ tertera bahwa dosen merupakan guru yang memiliki fungsi multidimensional sehingga salah satu sifat peranannya ialah sebagai pendidik.
Thanks Om ^^,
Tambah lagi undang-undang guru dan dosen
Pak, ini jangan hanya buat dosenn saja.. Paling pas buat guru.. Karena intinya adalah mengaeahkan peserta didik untuk belajar, yang hakekatnya adalah terjadinya suatu perubahan pada peserta didik, bukan membikin pusing peserta didik
Trims pak, nasehat nya. Minta ijin lagi artikelnya tak tempelin di ruang guru sekolah.. he..he..
…jujur saja akan mereformasi dan mengantarkan kita menjadi sosok “Dosen 2.0”.
gila bahasanya mas romi keren…. dosen 2.0, nanti kita juga berharap menjadi mahasiswa 2.0
π
iya iya iya Om Romi … saya bicara bahasa manusia kok … tanya deh semua mahasiswa saya …. π
SETUBUH Om Romi…
Kadang2 dosen2 ada juga yg sok dewa, jadi me-ninggikan dirinya sendiri bahkan saking tingginya bahasanya ga bisa dimengerti para mahasiswa…
tapi ada sedikit juga koq dosen-dosen muda yang asik dan enak dlm penyampaian materi…
tapi lingkungan mahasiswa tsb juga amat sangat berpengaruh membentuk perilaku mahasiswa ke depannya..
Ada hubungannya ga yah antara gaji dosen atawa guru yang bisa dibilang minim?
Sementara ‘katanya’ di negara tetangga kita tenaga pengajar atau pendidik adalah profesi dengan gaji yang aduhai.
menjadi dosen sama dengan menjadi guru dan harus menjiwai falsafah guru – iso digugu lan ditiru : jawa – karena banyak orang yang mengambil profesi guru karena keadaan di mana dirinya tidak mampu mencari pekerjaan yang dia inginkan, tidak mampu bekerja yang di tempat kerja yang berada di luar perkiraannya, dan menjadi dosen karena predikat dosen yang lebih tinggi martabatnya.
mental orang Indonesia dikarbit karena tuntuntan kemajuan jaman yang segala hal dinilai berdasarkan uang.
harapan saya sekarang ini orang-orang sudah mulai belajar tentang falsafah hidup yang sudah lama ditinggalkan. mengapa demikian? karena orang jaman sekarang hanya memiliki agama tetapi tidak memiliki iman.
Terlebih untuk guru-guru yang Pak…
Setinggi apapun ilmu kita, kalau tidak kita sampaikan dengan ikhlas dan cinta, semua akan sia-sia. Seperti melukis di atas air, atau mengukir angin semilir, atau bahkan seperi memintal awan yang bertebaran. Bekal ilmu terbaik untuk anak didik kita adalah ikhlas, cinta, dan pengabdian sebagai hamba sahaya ilmu penegtahuan.Bravo mas Romy.
dari http://www.mampuono.6te.net
bisa jadi masukan buat dosen2 kami pak romi, terimakasih. pesan yang disampaikan dalam sekali
MANTAB…
semoga para pendidik banyak yang baca dan gak lagi berbicara dengan bahasa hewan ataupun bahasa tumbuh-tumbuhan (Tukul Mode On) π
Ngomong2 kapan neh audisi idolnya, kok sepertinya sudah siap tampil, lagunya sudah hafal semuwa π
Bravo Pak Romi…
Selamat Berdjoeang dan tetap semangat
Wah, cool banget tulisannya.
Memang sesuai dengan kondisi yang ada. Tapi omong2 soal Dosen 2.0, mahasiswa 2.0, rasanya semuanya serba perlu diupdate ke versi 2.0 deh π
Mas romi saya punya usul, mbok jadwal mas seminar itu di publikasikan di sini (romisatriawahono.net). Tujuannya bukan untuk pamer klo mas banyak jadi pembicara π tapi lebih untuk informasi publik biar semua orang pada tau dan bagi yg berminat bisa ikut hadir. Soalnya kadang penyelenggara semniar promosinya kurang maksimal. Klo dari sini kan InsyaAllah lebih mengena… sukses…. trims
dosen/guru yang ilmu-nya kurang,
apa mereka kurang bisa menyampaikan,
atau bisa jadi mereka menyampaikan asal-asalan
atau…
banyak kemungkinannya.
Wah, kalo kami sih lebih ekstrim lagi. Kami gak pernah tuh diajari apapun sama gurunya. Udah uang sekolah mahal, jadi kami pun belajar sendiri alias googling. Sungguh menyakitkan SMK tempatku bernaung ini. TAk ada perhatian untuk siswa-siswanya, malahan gurunya agak takut kalau ketemu sama kami. Pernah suatu saat salah satu guru jurusan ngajar di tempat/kelas kami, eh dia rupanya tau topik TCP/IP dari dosennya di kampus. Pas dia bikin contoh soal, kami koreksi rupanya salah tuh ngitung binner ke desimal aja masih ‘puyeng’. Sedihnya lagi, kajur cuma diam2 aja dan sampai 3 tahun ini masih tetap jalan di tempat alias uang sekolah sia-sia. Tapi dasar kami gak mau nyerah, ya akhirnya googling2 itulah yang kami andalkan. Nah, pak Romi bagaimana nih guru2 seperti ini, dalam 1 minggu mereka cuma masuk 2 kali sambil nyatet tugas di papan tulis. Kami udah pernah protes, eh malah dibilang gak tau sopan santun. Waduh! Aku gak tau lagi nih gimana. Pak tolong bantu kami, Pak.
Wah sepertinya dosen dan mahasiswa perlu bicara dari hati ke hati.. ehm.. hem..
Menarik sekali. Saya juga menyadari bahwa sering kali potensi mahasiswa itu terjatuh gara-gara menjadi minder karena bahasa yang ketinggian. Apalagi, terkadang dosen cuma terkesan mempedulikan “barisan anak bangsa” (para mahasiswa/i yang duduk di 2 baris terdepan).
Untuk para guru, sudah saatnya cara mengajar ala Jepang dihentikan. Apalagi sekarang pendidikan kita sudah berkiblat pada Amerika, di mana mereka, guru, menempatkan diri sebagai rekan belajar, bukan pemberi wangsit.
Ini dia yang bikin saya merasa penting dan ingin mendapatkan pelatihan langsung dari mas Romi. Sayangnya, usai CCNA 1, saya stop dulu tahapan selanjutnya. Mudah-mudahan usai lebaran masuk lagi dan bisa bertemu Anda di kelas. Dari tulisannya saja sudah membuat saya faham gimana menyelesaikan soal-soal CCNA 1 dengan baik. Apalagi langsung belajar sama orangnya ya?
Betul-betul ibadah deh… bikin orang jadi bertambah ilmunya.
Nah, gimana kalau situasi yang sebenernya, si dosen udah pake bahasa manusia, tapi si mahasiswa nya aja yang nggak ngerti bahasa manusia? halah!
Hendaklah dosen open minded n menjadikan mahasiswa sebagai ‘partner’nya. Bukankah pendidikan bertujuan untuk memanusiakan manusia?…
nb: hehehe.. menurut humanisme..tiap orang punya kemampuan bakat yang berbeda-beda kan?..jadi akan lebih bijak jika..segala sesuatu tidak dilihat dari nilai.Meski kenyataannya di Indonesia masih melihat ‘nilai’ dari kecerdasan seseorang
Pak Romi, tulisannya sangat menarik. Tp kecenderungan utk bicara dgn bahasa yg hanya dimengerti sesama bukan cuma terjadi di kalangan dosen lho. Misalnya saja programmer, suka bicara dgn bahasa mesin dlm percakapannya. Lalu blogger atau plurker, juga suka membawa2 bahasa dunia maya ke dunia nyata, bikin bingung manusia normal lain. π
Bang Romi, minta tolong huruf di blognya dibesarkan. Sedikit saja. Mau baca artikel panjang seperti ini dengan ukuran huruf yang kecil bikin sakit mata π
wah tulisan pak romi ga ada matinya… hehehe.. masalah dosen, saya jd mo tau, belumnya seorang dosen menjadi dosen 2.0 itu apakah dipengaruhi oleh sistem belajar-mengajar yang dianut kampus ato tdk???…hehehe slnya saya bukan dosen jd mo tau.. π
Alhamdulillah pertanyaan saya tentang tips utk mengajar sudah terjawab sudah.terima kasih banyak Pak. sangat bermanfaat utk saya kedepannya.
ini adalah “my article of the week”
Semoga ada dosen yang baca tulisan mas romi!! π
dosen kayanya gak pada punya kemampuan seperti itu deh Pak…
saya saja dikampus cuma menemukan 1… seorang dosen yang membimbing saya skripsi padahal dia bukan dosen pembmbing saya. Pembimbingnya sih malah… O-ow… ah udah lulus ini… gak rebes…
Mau bimbingan gak pernah bisa, pas bimbingan gak dibimbing, pas sidang chaos, pas keluar nilai sidang bagus π (yang terakhir ini saya bersyukur)
tapi dosen baik itu ada, saya mengenalnya, walaupun hanya seorang saja….
sepertinya akan muncul istilah baru di dunia pendidikan: dosen 2.0 , mahasiswa 2.0 , kampus 2.0 …
π
wah, kalo dosen-nya udah versi 2.0 apa mhs-nya kudu versi 3.0 yah? π
tulisan yg bagus, bung romy.tp tolong dijelasin bung, apa ada hubungannya kualitas sang dosen ama banyaknya koruptor? apa itu bukannya pengaruh lingkungan? koq dosen dibawa-bawa? π
memang susah berbicara agar mudah dimengerti oleh orang lain.
mari berjuang dengan cara terbaik.
semua dosen mempunyai jurus masing masing
yg penting mampu menciptakan mahasiswa yang handal.
hebat… mas romi, benar-benar menyentuh… seperti nya membangunkan saya dari mimpi dan tidur yg panjang.
insya 411 perjuangan yg ikhlas akan mendapat ganjaran yg baik kini dan kelak di alam sana..
amal yg terus di bawa kita , walaupun kita telah mati adalah ilmu yg bermanfaat.
amin.
salam-rizal broer
Tulisan yang sangat menggugah. Semoga dibaca sebanyak mungkin para pendidik: dosen, guru, ustad, dll. Saran mas romi tentang bagaimana baiknya seorang pendidik berkomunikasi (dan berkomunikasih) dengan muridnya, sebetulnya perkara yang SEMUA ORANG SUDAH TAHU. Tapi entah kenapa kok tidak banyak yang mengaktualisasikannya. Memang ya, setan ada di mana-mana. Wuiii, serrreeem …
Di tempat kami dosen dan mahasiswa saling menilai. Artinya kalau setiap semester si mahasiswa dinilai berdasarkan kompetensi belajarnya, maka si dosen juga dinilai oleh mahasiswa berdasarkan performa mengajarnya. Hasil penilaian mahasiswa ini di bagi-bagikan kepada si dosen bersangkutan untuk dapat memperbaiki diri pada nilai-nilai yang kurang.
Saya fikir kebanyakkan kampus menerapkan sistem seperti ini sekarang.
Mantap juga mas tulisannya. Cukup memberi pelajaran bagi mahasiswa baru seperti saya….
Akhirnya unek-unek yang saya pendam selama kuliah, ditulis secara gamblang ama mas Romi, matur nuwun, mas. Moga2 tulisan ini dapat dibaca oleh para guru, pengajar, dosen dan lain-lain, sehingga dapat memberikan masukan yang positif di masa yang akan datang π
Wow . . . .
Pasti banyak “kalangan” yang tersindir dengan artikel bpk romi,tapi . . . banyak juga Unek-unek yang pasti terwakilkan oleh bapak romi.
Salam Hormat, sir .
( ehehehehehe . . gak nyangka pernah dapet nilai “C”, sir )
terimakasih di izinkan mampir.
Halo Mas Romi…
Dosen 2.0 memang sangat ideal, tapi mungkin harus juga dimulai dari tingkat Guru SD 2.0 …
Yg perlu diajarkan sejak dini adalah basic values serta budi pekerti, dan bukan hanya hafalan. Anak Indonesia harus berkembang utk menjadi leaders dgn semangat entrepreneurial. Dengan itu, semoga mereka mempunyai motivasi yg lebih tinggi lagi dan akhirnya menjadi productive member of society.
Terimakasih sudah boleh berkomentar…
Salam
Maylaffayza