Branding University
Menarik membaca buku terbitan Tempo berjudul Panduan Memilih Perguruan Tinggi 2008 [1], khususnya masalah jurusan dan universitas terbaik menurut pandangan masyarakat. Ceritanya Pusat Data dan Analisis Tempo (PDAT) membuat penelitian berbentuk survey yang mencoba melihat seberapa jauh branding sebuah universitas terbentuk di kepala masyarakat. Survey ini menjadi menarik karena hasilnya ditampilkan dalam bentuk grafik perangkingan universitas. Jujur saja, hasil perangkingan universitas memang tidak menggunakan pendekatan akademik seperti yang ditempuh oleh ARWU, THES maupun Webometrics. Tapi terpentalnya universitas-universitas besar seperti UI dan ITB menjadi menarik dikaji lebih dalam. Universitas adalah sebuah institusi, institusi yang mencari mahasiswa sebenarnya mirip dengan perusahaan yang mencari pelanggan. UniversitasĀ juga pasti memerlukan marketing dan brand (image building). Yang akhirnya institusi menjadi matang dan kuat setelah institution building-nya juga dikerjakan dengan baik. Apakah universitas di Indonesia menuju ke Branding University? Ikuti terus tulisan ini š
Ada dua hal yang menarik dari survey yang dilakukan PDAT. Yang pertama adalah tentang tingkat awareness terhadap universitas pada suatu jurusan, sedangkan yang kedua adalah persepsi masyarakat dan dunia kerja tentang universitas terbaik pada suatu jurusan. Karena core competence saya hanya di bidang computing, tentu yang saya bahas dan ambil dari hasil survey Tempo adalah untuk bidang computing atau teknologi informasi saja. Untuk bidang yang lain, silakan baca baca sendiri yah š
Pada survey tingkat awareness terhadap universitas digunakan model survey branding seperti umumnya, dimana tingkat awareness diukur dari tiga level:
-
Top of Mind (ToM): Nama universitas yang disebut pertama kali, yang paling menancap di benak responden
-
Spontan (Unaided Awareness): Nama universitas yang dapat diingat spontan dan tanpa bantuan
-
Dibantu (Aided Awareness): Nama universitas yang berhasil disebut karena dibantu atau dipandu
Kita bisa hasilnya dari gambar di bawah. ITB secara ToM tercatat paling tinggi (28%), meskipun ketika dihitung total terpental ke urutan ke-4. TigaĀ universitas yang menguasaiĀ brandĀ untuk jurusan computing dan teknologi informasi di Indonesia adalahĀ Binus, UI, Gunadarma.Ā Sedangkan ITS, UGM dan Unibraw terpental lebih jauh š Universitas Trisakti dan UPH tercatat sebagai universitas swasta yang ikutĀ muncul dalam percaturan brandĀ university wa bil khusus untuk jurusan komputer.Ā Semua data dan grafik diambil dari referensi [1].
Survey keduaĀ dari PDAT adalah persepsi masyarakat dan dunia kerja tentang universitas terbaik pada suatu jurusan, dalam hal ini yang saya kutip adalah jurusan computing atau teknologi informasi. PDAT menggunakan teknik analisis Thurstone untuk menggambarkan fenomena ini. Hasilnya juga cukup mencengangkan š
-
Persepsi masyarakat berhubungan dengan universitas terbaik untuk jurusan computing seperti gambar paling kiri. Binus meninggalkan ITB dan UI yang secara jarak relatif dekat. Gunadarma menyusul dibawahnya. ITS, UGM, UPH, Budiluhur, Trisakti, dan Unpad berebutĀ tempatĀ klasemen bawah dengan nilai yang berdekatan.
-
Persepsi dunia kerja menempatkan ITB pada skor tertinggi, disusul Binus, UI dan Gunadarma. Lihat gambar sebelah kanan.
-
Ketika kedua parameter itu digabung, hasilnya adalah seperti pada gambar paling bawah. Binus dan ITB berkuasa, disusul UI dan Gunadarma. Sedangkan ITS, UGM, Trisakti, UPH, Budiluhur, dan Unpad susul menyusul di bawahnya.
Hasil penelitian PDAT ini tentu debatable, karena hampir tidak menggunakan pendekatan dan parameter akademis apapun dalam penentuan rangking universitas. Tapi perlu kita perhatikan bahwa dalam dunia nyata yang semakin fana ini, faktor image building menjadi faktor penting dalam terbentuk dan berjalannya suatu organisasi, selain faktor institution building.
SMA Taruna Nusantara adalah contoh menarik, saya masuk sebagai angkatan pertama tahun 1990. Dari sisi logika tentu tidaklah mungkin sekolah ini akan menjadi sekolah yang baik dan berprestasi di kemudian hari.Ā Masih terekam di kepala, ketika saya pertama kali menginjakkan kaki ke SMA Taruna Nusantara, bangunan belum banyak yang jadi, status sekolah terdaftarpun mungkin tidak, guru hasil transfer dari SMA lain yang belum tentu siap dengan pendidikan gaya militer, dan kalau kita lihat dari sisiĀ kurikulum pendidikan pun belum tertata dengan baik. Terlepas dari semua itu, brand sekolah dibentuk dengan sangat dahsyat melalui berbagai media massa, bahwa ini adalah sekolah terbaik, berkualitas, bahkan diberi brand sekolah calon pemimpin bangsa. Pembukaan tahun ajaran dilakukan oleh Panglima ABRI dengan diiringi oleh kunjungan para menteri, pengusaha dan duta besar negara asing. Saya yakin ini adalah penerapan konsep image building yangĀ sangat brilian.
Terus bagaimana dengan institution building? Gaya Pendidikan dengan theraphy positive khas militer diterapkan untuk membentuk disiplin dan mental. Beberapa spesialis pembimbing mental (bintal) Taruna Akabri didatangkan. Jargon-jargon yang tersebar dalam prosesĀ image building digunakan dan dikemas dalamĀ bentuk lagu dan mars,Ā yang dinyanyikanĀ setiap siswaĀ pada saat baris berbaris, lari, konvoi,Ā apel atau kalau perlu pada acara makan š Semua untuk memacu adrenalin siswa, mengajak semua siswa untuk belajar lebih keras dan keras lagi. Berbagai metodeĀ influence tactic diterapkan oleh guru (pamong) dan pengajar. Tidak sampaiĀ 1 tahun setelah itu semua, hasil proses institution building ternyata mulai bisa mengiringi hasil image building. Media massa mulai menampilkan berbagai prestasi siswa yang bukan hanya klaim dan brand semata, tapi terbukti dalam berbagai kompetisi nasional maupun international.
Kembali ke masalah branding di universitas, dari berbagai data PDAT yang kita bahas diatas, harus diakui secara jujur bahwa brand Binus menancap cukup lekat ke dalam benak masyarakat dalam bidang computing. Ini adalah buah sukses keberhasilan proses marketing dan branding yang digarap serius oleh Binus. Dan ini harus diikuti oleh proses institution building, memperbaiki kualitas dosen dan mahasiswa. Binus harus mulai mengembangkan investasi ke SDM, meningkatkan kesejahteraan dosen, memberi insentif dan beasiswa untuk melanjutkanĀ kuliah ke S2 dan S3, dsb. sehingga cap comotĀ SDM sana sini tidak adaĀ lagi šĀ Ā Rasio mahasiswa-dosen di kelas juga mulai harus diperhatikan, tidak hanya mengejar kuantitas mahasiswa saja tapi juga kualitas belajar mengajar.
Di lain pihak, untuk universitas negeri yang selama ini merasa berada di comfort zone, mulai harus bergerak dan memikirkan kembali strategi branding dan marketing yang efektif dan efisien. Jaman sudah berubah total, kefavoritan ITB, UI, ITS, UGM, dsb sudah mulai tergerus oleh kekuatan branding yang dilakukan secara profesional oleh universitas-universitas swasta. Menunggu mahasiswa mendaftar adalah kuno, mengenalkan diri, berpromosi dan proyek jemput bola harus mulai digulirkan untuk mendapatkan mahasiswa-mahasiswa yang berkualitas.
Time will tell, siapa yang akan menjadi pemenang dari kompetisi ini. Yang pasti, dari sudut pandang (calon) mahasiswa, tentu ini arah yang positif, karena sudah diposisikan sebagai pelanggan. Universitas juga tidak bisa semena mena terhadap mahasiswa seperti dulu lagi. Infrastruktur harus dilengkapi, perpustakaan, internet, komputer harus banyak disediakan untuk memberi layanan yang baik kepada mahasiswa. Dosen juga harus mulai berpikirĀ bagaimanaĀ menyampaikan mata kuliah yang diajar dengan baik dan benar serta “terang benderang” kepada mahasiswa. Dosen yang sak karepe dewe dan pinter untuk dirinya sendiri akan tergerus oleh dosen-dosen muda yang enerjik, terampil dan punya berbagai teknik untuk memahamkan mata ajar ke mahasiswaĀ š
Untuk sahabat-sahabatku sivitas akademika universitas dimanapun berada, jalan yang kita pilih mungkin sukar, gelap dan mendaki ;). Tapi mudah-mudahan kita semua tetap dalam perdjoeangan …
REFERENSI:
[1] Sri Indrayati et al, Sri Malela et al (editor), Panduan Memilih Pergurauan Tinggi 2008, Pusat Data dan Analisa Tempo, 2008
Menarik pak Romi, saya jadi ingat sebuah buku yang berjudul “Perang Merek”, kayaknya paham ekonomi kapitalis udah mulai masuk ke kita gitu. Kalau nanti brandnya laku, ntar apa?, paling uang kuliahnya naik gitu, hehe…
Yang pasti, ini merupakan perubahan paradigma perguruan tinggi, sebelum masuk perguruan tinggi, mereka melihat bentuk perguruan tingginya dulu, jadi berharap akan ditempat, paradigma masuk perguruan tinggi “untuk mengubah pola pikir” sudah diubah. Tetapi untuk menjadi lulusan dari PT ini, lulusan dari PT itu.
Seharusnya sang calon mahasiswa memikirkan pengembangan dirinya, kampus merupakan salah satu bentuk dukungan untuk mendapatkan media dan sumber belajar. Tapi intinya ya tetap saja pengembangan diri, lihat saja enterpreneur sukses, ndak perlu lulus dari Binus atau ITB kan?, malah ada yang ndak tamat S1, tapi bisa jadi raja dibidangnya.
Saya jadi ingat dengan iklan Sampoerna yang produk rokok A-Mild itu, pendidikan digambarkan sebagai sebuah mesin penjual Toga otomatis, tinggal tentukan harga dan pencet tombolnya. Arahnya nanti, kita tidak lagi memikirkan proses, mau hasilnya sajah…
wallahualam
hm…..
tulisan yg menarik mas….
buat calon mhs : jadi tau mana univ yg brandingnya bagus tapi kualitasnya juga bagus… tapi biaya pasti mahal..
klw bisa cari cari kualitas yg bgs, branding lumayan, harga juga ga mahal… š
buat PTN : hati2 klw ga segera di branding dg bagus dan fasilitasnya juga di update nanti kebalap PTS. sayang dah di atas, tp kurang brandingnya.
trus buat PTS ga terkenanal, kesulitan biaya, mahasiswa sedikit, kualitas pas-pasan pie????
haruskan tetap dlp perdjoangan terus….
wahh…tapi sayang kampusQ gak disebut disana…UIN š
salam kenal ya pak…
Di paragraf terakhir ttg “tidak semena-mena pada mhs”, saya teringat kata Pak Budi Frensidy, dia bilang untuk bidang Finance kita terlalu berkiblat ke barat yang pada akhirnya materinya ga sesuai dengan kultur indonesia Ct: Indonesia Bank-base, US market-base. Yang dipelajari banyakan saham, obligasi, derivtive dibanding transaksi perbankan, padahal perusahaan di Indonesia lebih banyak menggunakan bank. Sama juga dosennya, keluarin buku mirip2 dari US. yang ada ngga membumi.
Btw,kalo dibuat Ivy Leaguenya Indonesia, kira2 PTS mana aja yang bisa masuk kategori ini Mas Romy??
Kenapa 10 PT tersebut dipilih dunia kerja..? -> karena lulusannya memiliki karakter
Karakter seperti apa yg dinilai penting oleh Dunia Kerja..?
10 karakter yg dinilai berdasarkan ranking :
1.Mau bekerja keras
2.Kepercayaan diri tinggi
3.Mempunyai Visi kedepan
4.Bisa bekerja dalam Tim
5.Memiliki kepercayaan matang
6.Mampu berpikir analitis
7.Mudah beradaptasi
8.Mampu bekerja dalam tekanan
9.Cakap berbahasa Inggris
10.Mampu mengorganisasi pekerjaan
Bagaiman agar lulus PT dengan berkwalitas. .?
6 Tips dari dunia kerja berdasarkan rangkingnya :
1.Aktif berorganisasi
2.Mengasah bahasa Inggris
3.Tekun belajar
4.Mengikuti perkembangan informasi
5.Memiliki pergaulan luas
6.Mempelajari aplikasi komputer
Bagaiman Dunia kerja menjaring pekerjanya.. ?
Inilah 8 syarat yg harus dipenuhi (berdasarkan rangking):
1.Indek prestasi komulatif
2.Kemampuan bahasa Inggris
3.Kesesuaian program studi dengan posisi kerja
4.Nama besar Perguruan Tinggi
5.Pengalaman kerja/magang
6.Kemampuan aplikasi komputer
7.Pengalaman organisasi
8.Rekomendasi
sumber : Majalah mingguan Tempo, 20 Mei 2007
bagaimana dengan PT kita?
*horee… budi luhur masuk nich*
terlepas dari hasil survey di atas valid atau tidak, memang branding-image suatu institusi pendidikan (dari sd sampai universitas) cukup berpengaruh terhadap keberhasilan institusi tersebut dalam mendapatkan “pelanggan”. mungkin sudah saatnya institusi pendidikan memanfaatkan konsep cyberpreneurship spt yang dilakukan google, yahoo, amazon, dsb.
brand menurut aku harus dibangun dari akar, dalam hal ini adalah dari mahasiswa pegawai dan pengajar/dosen
kedisiplinan, kerja keras, jujur, keyakinan akan masa depan yang cemerlang harus ditanamkan dari awal.
kalo universitas negeri sih memintarkan orang pinter itu gampang
tapi memintarkan orang yang dianggap bodho ini yang sudah dan penuh tantangan
belum ada perguruan tinggi yang memberi visi” menjadi lahan yang subur untuk pendidikan” dan ini artinya bibit yang belum tentu baik akan menjadi tumbuh berkembang dan subur dengan sempurna setara dengan bibit yang istimewa…..
ini baru namanya sekolah heeeeee
iya ngak ya…….
salam
yoga
ga peduli ah…
soalnya universitas saya ga disebut-sebut..
lagian menurut saya mending subjek aja nilainya.dilihat nya dari individual itu sendiri.
bisa dilihat juga kan banyak buku-buku IT yang penulisnya juga ternyata ga dari perguruan2 di atas.
Posting menarik Pak Romi, sayang sampelnya hanya 1 prodi (komputer science) saja, mungkin lebih menarik hasil surveynya. Karena Universitas itu besar, dan analisa image building vs institution building lebih variatif
#Ahmad: Beli bukunya mas, lengkap di sana … hehehe
wew,, bahasannya berat nih mas romi hehe,,, saya kuliah 2 tahun molor, baru tahun ini masu ckck,,ke binus tapi ga ketemu mas romi sich hehe,,,
Menurut saya sih, asal usul PT Juga perlu walaupun itu gak mutlak, biar gimana nama besar suatu KAMPUS kadang menunjang fasiltas yang dibutuhkan mahasiswa untuk maju seperti sarana lab, sarana sertifikasi (spt CCNA MCSE dll), dengan adanya sarana pendukung tersebut sangat membantu mahasiswa untuk maju dibandingkan dengan kampus kampus yang hanya menyediakan fasilitas seadanya untuk mahasiswanya.
Sekali lagi NAMA BESAR PT tidak menjamin kualitas MAHASISWANYA kembali ke MAHASISWANYA sendiri mau maju atau tidak, dengan fasilitas lebih memadai tentu mahasiswa yang keinginan majunya tinggi lebih bisa mengembangkan keahliannya.
Thanks
Kalo misalnya hanya dompleng universitasnya aja tanpadibarengi dengan kemauan yang keras dari mahasiswa itu sendiri, bisakah si mahasiswa itu maju? yang penting kemampuan dan kemauan untuk belajar keras,dimana pun dia berapa,bukan universitas mana dia belajar…. š
Halah, gw lulusan gunadarma, di comment gw liat2, ada yang bilang UMPTN aja belom tentu bisa??? ha? apa hubungannya, KEAHLIAN JURUSAN ama UMPTN??? di dunia kerja, yang penting skill, lo gak bisa apa2, out!!! lo bisa melakukan apa2, in!!! gak penting universitas mana, semuanya bisa, individual skill men!!! klo ada perusahaan yang liat via akademik, itu perusahaan yang cuma gak mau ambil susah, dengan persepsi umum, nih orang kuliah di PTN terkenal, dianggap berskill tinggi.., IPKnya tinggi, dianggap berskill tinggi.., padahal, gak bener…, IPK tinggi cuma textbook? mana bertahan… (kebanyakan di gundar, IPK tinggi cewe2 yang texbook, wakakakakak)
(#
/*
Arief Says:
July 12th, 2008 at 13:07
Wah, hasil surveynya tidak valid nih, yang melakukan survey dan yang disurveynya siapa dulu? jangan2 karena Sri Indrayati et al, Sri Malela et al (editor), tidak pernah kenal Ilmu Komputer IPB atau memang anti IPB? š
Ubinus? Gunadarma? bisa apa? fasiliti mungkin OK, tapi mahasiswanya? lulus UMPTN atau via USMI aja mungkin kagak bisa. Pokoknya seperti konsep DBMS, garbage in garbage out. Kualitas output di tentukan kualitas input. Jangan mentang2 masuknya mahal trus dibilang bagus, buktikan dulu lulusannya. Nama universiti mungkin boleh mudah diucap, tapi klo kemampuannya nggak ada gimana?
UI dan ITB sih OK, jelas qualified.
*/)
#arif= sori gw cuman ngebelain almamater gw!,
lo sirik aja kalee…ngaku dari kampus negeri, tapi omongnya ga intelek banget,gw bales ga intelek juga ye…
gw cuman balik nanya kemampuan anak IPB itu kaya apa?, di programming, networking? mana ada yang terkenal dari ipb?…namanya juga pertanian
kalo yg namanya survey om? ya memang seperti itu…lo kalo mau survey yang valid.. lo bikin aja lembaga survey ndiri…:)
kalo mahasiswa (binus-gunadarma )ya jelas ajalah maju…, bukanya ga mampu UMPTN ke IPB tapi ga ada minat banget ke IPB, ya karena dari IPB itu IT-nya ga ada yang top-markotop, coz ipb aksesnya kebanyakan di kebon… sori kalo lo kesinggung… š
surveynya kurang valid karena hanya dilakukan pd masyarakat jakarta saja. pantas aja IT binus yg di Jakarta mengalahkan IT ITB yg di Bandung. untuk jurusan lain, UI juga jauh mengalahkan univ-univ lain karena berada di luar jakarta
yak setuju dengan mahasiswa itb, penilaian grafiknya gak objektif. di unikom sekalipun baru dan cuma swasta, IT nya cemerlang, ga banyak orang yang tau. implementasi ke dunia real, misalkan ke dunia kerja harus dinilai juga. karena ilmu anak kuliahan reguler berbeda dengan anak kuliahan yang udah kerja. mari berkunjung ke UNIKOM, kamu tunjukkan teknologi yang kami miliki š
Thanks
Gimana ya hasilnya survei semacam itu…
aslmlkum.
selamat pagi bang..!!!!!!!
saya TN ank 15, mungkin disini saya melihat beberapa hal yang dirasa perlu ditambah dalam menganalisa dan mensurvey suatu universitas jika kita melihat kondisi institusi pendidikan di negara ini.
seperti indikator2 yang dimiliki oleh suatu pendidikan tinggi tersebut seperti: skill, faktor CSF perusahaan, opini publik, fakta yang benar2 objektif, dll.
dan satu hal lagi, bang. Suatu institusi dikatakan berhasil atau sukses jika lulusannya banyak yang menerapkan ilmunya dalam kehidupan nyata.Saran saya bagaimana jika abang melakukan survey terhadap lulusan2 dari perg tinggi yang telah membuka perusahaannya berikut dengan profil & daftarnya. karena, jika kita selalu berkutat dalam menyurvey perg tinggi tidak akan pernah habis dan pasti akan dijadikan perdebatan antarperg tinggi siapa yang mengklaim yg terbaik, karena negara ini masih sulit untuk memandang suatu survey secara objektif. Maaf jika komentar saya terlalu panjang.
Arigatou Gozaimasu..
wassalam.
coba baca lagi,,,
supaya bener2 pda ngerti apa inti dan tujuannya..
Artikelnya menarik š Makasih ya udah sharing
makasih infonya mas romi.
Terimakasih atas informasinya sangat bermanfa’at sekali…
Menarik, saya kebetulan masih kuliah di UG, tahun ke 5, mengulang nilai E sekaligus masih belajar-belajar, dan ambil sertifikat, seta magang.
Rencana biar ga kenal label fresh graduate.
Buat saya, UG sudah cukup memenuhi kebutuhan saya, kalo soal fasilitas, disini bukan sistem “suap” maksudnya tinggal pakai. Tapi lebih disuruh nyari, mankanya banyak orang-orang yang kritis disini. Banyak juga orang teknik, terjun ke manajemen> jadi sales apartemen, mobil atau apalah> kalau menurut mereka yang penting itu uang. Yah yah whatever.
Saya dulu berpikiran kampus yang saya jadikan tempat belajar ini “kurang”, tapi seiring berjalannya waktu saya mulai paham, sistem disini. Toh saya menikmatinya saja.
Kerjaan begadang itu udah biasa bagi saya, karena saya mahasiswa yang tidak punya uang, (uang makan saya 300 rb seminggu, kondisi kost, dan menurut saya itu untuk sekarang sudah “seret”, bayar kost sendiri dari uang magang, heheh)
Masalah branding university sebenarnya ga terlalu di permasalahkan. Adik saya kuliah di Jakarta, dengan estimasi biaya tembus 100 juta, kampusnya punya nama kok, daerah G. Pertama saya ke situ, ampun deh2, ke kampus bawa plastik isinya minuman alkohol, dll.
Teman2 seangkatan saya disana juga banyak yang stress akibat index prestasi yang kecil, namun tidak mematahkan semangat mereka, saya juga IPnya kecil, kecil banget, di bawah 2,5.
Niat saya di tahun terakhir ini, yang mau diapain lagi karena ga ada semester pendek, saya ikut pemutihan, kemungkinan beberapa mata kuliah yang sengaja syaa ulang ini saya pastikan mendapat A, untuk menambah IP.
Trims Romi Satria.
Menurut saya branding image suatu perguruan tinggi itu sangat penting, apalagi di era digital seperti sekarang ini, hal-hal seperti itu menjadi faktor penting yang membuat suatu perguruan tinggi itu menjadi populer terlepas dari pernyataan diatas