Hakekat Kebenaran
Mencari hakekat kebenaran mungkin sering kita ucapkan, tapi susah dilaksanakan. Makhluk apa itu kebenaran juga kita kadang masih nggak ngerti. Yang pasti bahwa “benar” itu pasti “tidak salah” ;). Pertanyaan-pertanyaan kritis kita di masa kecil, misalnya mengapa gajah berkaki empat, mengapa burung bisa terbang, dsb kadang tidak terjawab secara baik oleh orang tua kita. Sehingga akhirnya sering sesuatu kita anggap sebagai yang memang sudah demikian wajarnya (taken for granted). Banyak para ahli yang memaparkan ide tentang sudut pandang kebenaran termasuk bagaimana membuktikannya. Saya mencoba ulas masalah hakekat kebenaran ini dari tiga sudut pandang yaitu: kebenaran ilmiah, kebenaran non-ilmiah dan kebenaran filsafat.
Harus kita pahami lebih dahulu bahwa meskipun kebenaran ilmiah sifatnya lebih sahih, logis, terbukti, terukur dengan parameter yang jelas, bukan berarti bahwa kebenaran non-ilmiah atau filasat selalu salah. Malah bisa saja kebenaran non-ilmiah dan kebenaran filsafat terbukti lebih “benar” daripada kebenaran ilmiah yang disusun dengan logika, penelitian dan analisa ilmu yang matang. Contoh menarik adalah kasus patung Kouros yang telah diteliti dan dibuktikan keasliannya oleh puluhan pakar selama lebih dari 1,5 tahun di tahun 1983, bahkan juga dianalisa dengan berbagai alat canggih seperti mikroskop elektron, mass spectrometry, x-ray diffraction, dsb. Namun beberapa pakar lain (George Despinis, Angelos Delivorrias) menggunakan pendekatan intuitif sebagai ahli geologi dan mengatakan bahwa patung tersebut palsu (terlalu fresh, seolah tidak pernah terkubur, kelihatan janggal). Akhirnya patung itu dibeli dengan harga tinggi oleh museum J. Paul Getty di California dengan asumsi kebenaran ilmiah lebih bisa dipertanggungjawabkan. Kenyataan kemudian membuktikan bahwa semua dokumen tentang surat tersebut palsu, dan patung itu dipahat disebuah bengkel tempa di Roma tahun 1980. Cerita ini menjadi pengantar buku bestseller berjudul Blink karya Malcolm Gladwell.
KEBENARAN ILMIAH
Kebenaran yang diperoleh secara mendalam berdasarkan proses penelitian dan penalaran logika ilmiah. Kebenaran ilmiah ini dapat ditemukan dan diuji dengan pendekatan pragmatis, koresponden, koheren.
-
Kebenaran Pragmatis: Sesuatu (pernyataan) dianggap benar apabila memiliki kegunaan/manfaat praktis dan bersifat fungsional dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya, Yadi mau bekerja di sebuah perusahaan minyak karena diberi gaji tinggi. Yadi bersifat pragmatis, artinya mau bekerja di perusahaan tersebut karena ada manfaatnya bagi dirinya, yaitu mendapatkan gaji tinggi.
-
Kebenaran Koresponden: Sesuatu (pernyataan) dianggap benar apabila materi pengetahuan yang terkandung didalamnya berhubungan atau memiliki korespondensi dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Teori koresponden menggunakan logika induktif, artinya metode yang digunakan dalam berpikir dengan bertolak dari hal-hal khusus ke umum. Dengan kata lain kesimpulan akhir ditarik karena ada fakta-fakta mendukung yang telah diteliti dan dianalisa sebelumnya. Contohnya, Jurusan teknik elektro, teknik mesin, dan teknik sipil Undip ada di Tembalang. Jadi Fakultas Teknik Undip ada di Tembalang.
-
Kebenaran Koheren: Sesuatu (pernyataan) dianggap benar apabila konsisten dan memiliki koherensi dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Teori koheren menggunakan logika deduktif, artinya metode yang digunakan dalam berpikir dengan bertolak dari hal-hal umum ke khusus. Contohnya, seluruh mahasiswa Undip harus mengikuti kegiatan Ospek. Luri adalah mahasiswa Undip, jadi harus mengikuti kegiatan Ospek.
KEBENARAN NON-ILMIAH
Berbeda dengan kebenaran ilmiah yang diperoleh berdasarkan penalaran logika ilmiah, ada juga kebenaran karena faktor-faktor non-ilmiah. Beberapa diantaranya adalah:
-
Kebenaran Karena Kebetulan: Kebenaran yang didapat dari kebetulan dan tidak ditemukan secara ilmiah. Tidak dapat diandalkan karena kadang kita sering tertipu dengan kebetulan yang tidak bisa dibuktikan. Namun satu atau dua kebetulan bisa juga menjadi perantara kebenaran ilmiah, misalnya penemuan kristal Urease oleh Dr. J.S. Summers.
-
Kebenaran Karena Akal Sehat (Common Sense): Akal sehat adalah serangkaian konsep yang dipercayai dapat memecahkan masalah secara praktis. Kepercayaan bahwa hukuman fisik merupakan alat utama untuk pendidikan adalah termasuk kebenaran akal sehat ini. Penelitian psikologi kemudian membuktikan hal itu tidak benar.Â
-
Kebenaran Agama dan Wahyu: Kebenaran mutlak dan asasi dari Allah dan Rasulnya. Beberapa hal masih bisa dinalar dengan panca indra manusia, tapi sebagian hal lain tidak.
-
Kebenaran Intuitif: Kebenaran yang didapat dari proses luar sadar tanpa menggunakan penalaran dan proses berpikir. Kebenaran intuitif sukar dipercaya dan tidak bisa dibuktikan, hanya sering dimiliki oleh orang yang berpengalaman lama dan mendarah daging di suatu bidang. Contohnya adalah kasus patung Kouros dan museum Getty diatas.
-
Kebenaran Karena Trial dan Error: Kebenaran yang diperoleh karena mengulang-ulang pekerjaan, baik metode, teknik, materi dan paramater-parameter sampai akhirnya menemukan sesuatu. Memerlukan waktu lama dan biaya tinggi.
-
Kebenaran Spekulasi: Kebenaran karena adanya pertimbangan meskipun kurang dipikirkan secara matang. Dikerjakan dengan penuh resiko, relatif lebih cepat dan biaya lebih rendah daripada trial-error.
- Kebenaran Karena Kewibawaan: Kebenaran yang diterima karena pengaruh kewibawaan seseorang. Seorang tersebut bisa ilmuwan, pakar atau ahli yang memiliki kompetensi dan otoritas dalam suatu bidang ilmu. Kadang kebenaran yang keluar darinya diterima begitu saja tanpa perlu diuji. Kebenaran ini bisa benar tapi juga bisa salah karena tanpa prosedur ilmiah.
KEBENARAN FILSAFAT
Kebenaran yang diperoleh dengan cara merenungkan atau memikirkan sesuatu sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya, baik sesuatu itu ada atau mungkin ada. Kebenaran filsafat ini memiliki proses penemuan dan pengujian kebenaran yang unik dan dibagi dalam beberapa kelompok (madzab). Bagi yang tidak terbiasa (termasuk saya ;)) mungkin terminologi yang digunakan cukup membingungkan. Juga banyak yang oportunis alias menganut madzab dualisme kelompok, misal mengakui kebenaran realisme dan naturalisme sekaligus.
-
Realisme: Mempercayai sesuatu yang ada di dalam dirinya sendiri dan sesuatu yang pada hakekatnya tidak terpengaruh oleh seseorang.
-
Naturalisme: Sesuatu yang bersifat alami memiliki makna, yaitu bukti berlakunya hukum alam dan terjadi menurut kodratnya sendiri.
-
Positivisme: Menolak segala sesuatu yang di luar fakta, dan menerima sesuatu yang dapat ditangkap oleh pancaindra. Tolok ukurnya adalah nyata, bermanfaat, pasti, tepat dan memiliki keseimbangan logika.
-
Materialisme Dialektik: Orientasi berpikir adalah materi, karena materi merupakan satu-satunya hal yang nyata, yang terdalam dan berada diatas kekuatannya sendiri. Filosofi resmi dari ajaran komunisme.
-
Idealisme: Idealisme menjelaskan semua obyek dalam alam dan pengalaman sebagai pernyataan pikiran.
-
Pragmatisme: Hidup manusia adalah perjuangan hidup terus menerus, yang sarat dengan konsekuensi praktis. Orientasi berpikir adalah sifat praktis, karena praktis berhubungan erat dengan makna dan kebenaran.
REFERENSI
-
Moh. Nazir, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Agustus 2003.
-
Sulistyo-Basuki, Metode Penelitian, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, April 2006.
-
Penalaran, http://id.wikipedia.org/wiki/Penalaran
Ada satu perangkat di dalam diri yang sudah sejak lama kita lupakan, Mas Romi, yang bahkan kita tidak tahu lagi apa fungsinya. Hati.
IMHO agak aneh kebenaran di dapat dari hal-hal yang tidak ilmiah. Definisi ilmiah dalam otak saya adalah cara memperoleh pengetahuan (dalam hal ini kebenaran) dengan sistematis. Trial dan error menurut saya metode yang ilmiah. Kemudian kebenaran-kebenaran lain yang non ilmiah, pada akhirnya membutuhkan metode ilmiah untuk membuktikan kebenaran itu sendiri. Jadi pada dasarnya tidak ada kebenaran yang tidak ilmiah 🙂
Lalu kebenaran berdasarkan kewibawaan, bukan kebenaran. Tapi merupakan salah satu logical fallacy.
Tentang filsafat, pembagian dunia filsafat selalu jadi perdebatan dari dulu. Biasanya dimulai dengan membenturkan dua madzhab yang ekstrim, seperti idealisme vs pragmatisme. Baru setelah itu muncul turunan-turunan lain yang lebih bervariasi, seperti materialisme, eksistensialisme dll. IMHO, pembagian diatas malah mereduksi filsafat sendiri :-))
“benar†itu pasti “tidak salahâ€, … setidaknya dalam lingkup logika boolean.
Kalau fuzzy bagaimana?
Yang sering terjadi saat ini adalah pembenaran diri sendiri dengan menggunakan dalil-dalil semu yang tujuannya untuk menyamarkan kesalahan. Sehingga yang salah seolah benar dan yang benar menjadi samar kebenarannya.
Semoga kita segera menemukan tolok ukur kebenaran yang sempurna, sehingga Indonesia segera terbebas dari carut marut dan keterpurukan.
Makasih atas pencerahannya …
Kayaknya cuma satu komentar : Puyeng :-).
Baca artikel mas Romi kali ini mesti dalam suasana tenang, diresapi dalam-dalam dan dipahami secara serius..
BTW, aya naon, kok tiba-tiba membahas soal hakekat kebenaran ? Mau ikut sufi ya mas ? (nuduh :-D)
Kebenaran agama dan wahyu, antum tempatkan pada kebenaran non ilmiah, ah massa? Nggak semua kali?? Bukannya agama (Islam) dan wahyu (al-Quran) sebagai kebenaran yang hakiki, meskipun banyak kasus yang di luar jangkauan akal kita.
Sebagai telaah: Kebanyakan yang mengatasnamakan masyarakat ilmiah merasa enggan kalau sesuatu datangnya dari kitab suci /KS (al-Quran) tidak dikatakan kebenaran ilmiah, ayo tanya kenapa??? padahal kalau kita lihat salah contoh ketika KS menceritakan kejadian manusia dari segumpal darah dan seterusnya, apakah ini nggak disebut kebenaran ilmiah? wallahu ‘alam.
Salam kangen mas!
Jaen
# Watung: bener mas, itu dia 🙂
# Fade2blac: Saya yakin ada kebenaran meskipun tidak bisa diuji secara ilmiah 🙂 Tentang menguji kebenaran cara yang paling sahih memang metode ilmiah, karena paling gampang dicerna oleh panca indra. Kategori kebenarannya sendiri sih debatable, yang saya comot diatas yang banyak disepakati para peneliti filsafat ilmu 😉
# Din: Karena ada beberapa hal yang tidak bisa kita judge dengan hitam-putih (atau benar-salah) itulah muncul teoritika fuzzy.
# Cakbud: benar, setuju 😉
# Vavai: Saya pingin mengantarkan bahasan ke ilmu pengetahuan dan metode penelitian, tunggu saja seri berikutnya 🙂
# Jaen2006: Tentu mas. Wahyu Allah itu ada yang bisa dibuktikan secara ilmiah atau tidak. Hanya sikap kita terhadap perintah Allah adalah sami’na wa atha’na, baik bisa dibuktikan secara ilmiah atau tidak, kebenaran Allah tetap benar secara mutlak. Kategorinya sendiri debatable 🙂
istilah kebenaran ilmiah, non ilmiah, atau filsafat ujungnya sama saja, “othak athik mathuk”, sebab berlandaskan pemikiran manusia. persis seperti maha karya nenek moyang “kitab primbon”. mengamati fenomena, mereka-reka, dan menyimpulkannya.
Ya memang penelitian ilmiah kan juga gitu bos 😉 otak atik mathuk 🙂
Baru kali ini kayaknya nulis tentang sesuatu yg “aneh” dari pekerjaan sehari-hari, Rom ? 🙂
Kebenaran dari sisi filsafat memang berhubungan dgn “penggunaan akal dan nalar dlm memandang sesuatu”. Tetapi kalau mau “diperpendek”, kebenaran itu ada 2 :
1. Kebenaran menurut Siapa Yang Memberikan Penilaian (Manusia)
2. Kebenaran Pada Dirinya Sendiri
atau minimal jika kita mengabaikan semua itu, juga tetap ada 2 :
1. Kebenaran Sejati (jika ada, tetapi masih terus dicari)
2. Pernyataan Tentang Kebenaran Sejati 🙂
sorry kalau makin bikin bingung…..
wah, asyik banget nih kalo dipake jadi pengantar bahasan Metpen…
iya juga sih, mencari kebenaran itu ada karena adanya fenomena yg membuat saya bingung menjawab mana yg benar, dan muncul deh penelitian, didukung dg metoda penelitian utk pembuktian….. cuman… setelah muncul metoda penelitian, saya kok masih bingung juga metoda penelitian mana yg benar… hehehe… mmmh, apa bisa dikatakan bahwa “yg benar menurut orang laen, belum tentu benar bagi saya… dan sebaliknya….”
atau, utk memilih metoda penelitian, apa kita perlu pake falsafah lakum diinukum waliyadiin?
sejauh apa filsafat kebenaran, mentoknya adalah sejauh mana manusia menalarnya
blogwalking, salam kenal
# Fertob: sekedar pengantar masuk ke ilmu pengetahuan, penelitian ilmiah dan filasatnya 😉
# Pepie: hmmm pengujian kebenaran secara ilmiah mungkin yang bisa diterima umum, meskipun sekali lagi itu juga belum tentang benar 😉 Membuktikan kebenaran bisa juga dari fact sebuah kejadian itu, seperti cerita kouros itu.
# Pudak: hehehe yup benar, ujung filsafat sebenarnya tetap nalar manusia 🙂
Apa bedanya benar dengan betul ? Tentu saja beda, sebab kebenaran tidak sama dengan kebetulan.
Mau lebih pusing : “Kebetulan saya benar-benar tidak tahu tentang kebenaran yang betul-betul benar”
Dari berbagai sumber, saya pernah menulis dalam sebuah tugas matakuliah filsafat, bahwa ada tingkat-tingkat kebenaran yang dikelompokkan menjadi 4, yaitu:
1. Kebenaran Panca Indera
2. Kebenaran Ilmu Pengetahuan (IP)
3. Kebenaran Filsafat
4. Kebenaran Agama (Wahyu).
Dari ke 4 tersebut masih bisa dikelompokkan menjadi 2, yaitu:
1. Kebenaran Manusia (Panca Indera, IP dan Filsafat).
2. Kebenaran Tuhan (Agama/Wahyu).
Tingkatan kebenaran itu bisa dibandingkan, tetapi sebenarnya punya domain sendiri-sendiri.
Misalnya di saat kita membicarakan runtuhnya sebuah jembatan, maka sebenarnya kita sedang membicarakan kebenaran ala manusia menggunakan Ilmu khususnya. Kita akan ditertawakan jika menggunakan sudut pandang yang lain.
Saat kita membicarakan asal usul manusia maka bisa menggunakan Ilmu Pengetahuan, Filsafatnya Darwin, atau Wahyu.
Menghadapi hal seperti ini teori agama (Islam) mengatakan bahwa yang dhimni (samar) tidak bisa mengalahkan yang qot’i (jelas). Di alquran jelas dikatakan bahwa manusia diciptakan dari tanah, tapi menurut darwin manusia keturunan kera. Jadi menurut agama darwin salah.
Tapi menurut ilmu dan filsafat darwin tidah salah, karena wilayah ilmu dan filsafat hanya pada apa yang bisa di observasi (dilihat). Asal metodologinya tidak keluar dari metode ilmiah, maka secara ilmiah bisa dikatakan benar.
Semoga bermanfaat.
Hardi Wibowo
cobalah tenangkan diri anda duduk diam mata terpejam di tempat sepi,
buang semua masalah buang semua pikiran buang semua bayangan
sugestikan anda dalam rengkuhan tuhan
berdoalah minta perlindungan tuhan
nikmati kedamaian alam.
disitulah anda akan menemukan HAKEKAT KEBENARAN
kebenaran diatas kebenaran yg melebihi kebenaran panca indra dan pikiran manusia.
dan seharusnya manusia hanya perlu mencari kebenaran itu. kebenaran yg ada pada diri kita. kebenaran yg ada di tingkat kesadaran kita paling tinggi. bila anda belom masuk ke tingkat keberaran pada kesadaran anda tertinggi, maka ANDA TIDAK PERNAH MENDAPAT HAKEKAT KEBENARAN
# Hardi: Dari berbagai sumber itu apa?;) Ya intinya category is debatable, ada memang yang nyusun seperti itu. Saya sudah baca puluhan buku tentang research dan filsafat pengetahuan. Memang ada yang membagi seperti yang sampeyan berikan.
# Mas-Ros: dalem euy 😉
Apakah juga ada, HAKIKAT KESALAHAN?
Tabik.
Saya di penelitian kemarin sempat terjebak diantara kebenaran pragmatis (versi saya) – yang tidak ingin terlalu banyak berasumsi tapi ingin kejujuran penelitian – dan kebenaran koresponden (versi pembimbing saya) – yang menganjurkan asumsi sebagai beauty of research. Pertarungan dimenangkan oleh pembimbing saya tentunya 😛
Ada satu kalimat yang selalu saya cantumkan dalam blog saya ….
The opposite of a correct statement is a false statement. The opposite of a profound truth may well be another profound truth (Niels Bohr).
Dari berbagai literatur, termasuk yang Mas Romi sampaikan dalam tulisannya, secara sederhana saya mengklasifikasikan kebenaran itu ke dalam dua hal, yaitu :
(1) Kebenaran yang bisa diraba oleh panca indera, logika akal dan budi, serta hati manusia, di mana ini sangat dipengaruhi oleh kemampuan menalar, kemampuan berpikir, serta paradigma pikir orang tersebut. Dalam hal ini termasuk metodologi pembuktian suatu kebenaran. Kalau kita bicara jurnal ilmiah, maka seorang peneliti bisa saja menemukan kebenaran x, tetapi tak lama kemudian bisa juga peneliti lain membantah kebenaran x tersebut, dan kedua peneliti itu menggunakan metodologi penelitian yang sama, terutama dalam ilmu-ilmu sosial (paradigma anti-positivism). Kalau ilmu alam, rasanya lebih mudah dibuktikan (paradigma positivism).
(2) Kebenaran yang belum bisa diraba oleh panca indera, logika akal dan budi, serta hati manusia, yang mana kalau kita yakin itu benar, maka kita meng-iman-i kebenaran itu, tapi saat ini masih sulit dibuktikan dengan perangkat ilmiah yang ada. Pada wilayah ini, hanya iman yang berbicara, dan jangan didebat dengan perangkat duniawi seperti metodologi ilmiah, jadinya debat kusir.
he he he … ikutan nambah bingung ya … salam.
Jadi ingin ikutan sharing “unek2″… 🙂
Biar nggak pusing, saya membuat formulasi sbb: 🙂
Pengetahuan manusia didapat dari data hasil observasi dan proses reasoning/berpikir. Kebenaran (truth) berdasarkan pengetahuan manusia ini dapat didefisikan sebagai suatu yang “factual” dan “logical”. Factual didasarkan kepada observasi (panca indera with/without bantuan teknologi). Logical didasarkan kepada valid tidaknya argument/reason yang digunakan atau ada tidaknya fallacy di dalamnya (e.g. inkonsistensi/kontradiksi).
Mungkin sebagai contoh mudahnya, kalau ada orang yang bilang bumi ini ceper seperti koin, kita bisa bilang pernyataannya salah karena tidak factual (tidak sesuatu dengan observable fact).
Kalau ada yang bilang Windows lebih superior dari Linux karena kalau tidak Bill Gates tidak mungkin menjadi bilyuner, bisa kita bilang pernyataannya salah secara logika karena suksesnya marketing tidak langsung berarti superior in functionality.
Dalam area non-empirik, di mana tidak ada data dari observasi, manusia hanya bisa menggunakan logical reasoning dalam menganalisa statement atau argumentasi. Benar atau tidaknya secara factual tidak ada yang bisa tahu karena tidak ada data observasi.
Dalam area moralitas, manusia berbeda dalam mendefisikan standard kebenaran. Ada yang menggunakan standard “survival the fittest”, siapa kuat dia yang mendefiniskan benar/salah; ada yang menggunakan standard “consensus of the majority”, suara terbanyak yang menentukan benar/salah; ada yang menggunakan standard “do unto others as you would have them do unto you”, perbuatan menjadi benar kalau disukai kalau tidak disukai menjadi salah; ada pula yang menggunakan standard dalam kitab suci yang diyakini sebagai wahyu dari Tuhan pencipta manusia.
Wallahu’alam.
sebagai orang awam, saya mau ikut sumbang pemikiran saja… 🙂
mas, bukankah konsep ‘kebenaran’ pada akhirnya merupakan persepsi masing-masing orang? bagaimanapun ruwetnya para filsuf membagi ‘kebenaran’ itu, bukankah pada akhirnya tergantung pada pribadi masing-masing apakah mereka akan menerima sesuatu sebagai suatu ‘kebenaran’ atau malah dianggap sesuatu yang salah sama sekali?
Lebih penting lagi, karena ‘kebenaran’ merupakan persepsi, saya berpendapat bahwa ‘kebenaran’ memiliki banyak sisi, tergantung pada siapa yang meyakini ‘kebenaran’ tersebut. contoh: mas Ridha bilang bahwa pernyataan windows lebih superior dari linux salah secara logika karena suksesnya marketing tidak langsung berarti superior in functionality, saya berpendapat bahwa justru itulah letak superioritas windows. Bayangkan, dengan harga ratusan dolar, OS windows jauh lebih populer dibanding linux yang gratisan, yang (mungkin) secara fungsi lebih baik.
Karena itu, saya mencoba berpikir praktis dengan melihat rangkaian fakta yang ada. Ada banyak ‘kebenaran’, dan ‘kebenaran’ masih mungkin disisipi imajinasi, namun tidak halnya dengan fakta.
Buat edo: Mungkin statement dalam contoh saya di atas perlu diperjelas lagi menjadi: “Kalau ada yang bilang Windows lebih superior in functionality dari Linux karena kalau tidak Bill Gates tidak mungkin menjadi bilyuner, bisa kita bilang pernyataannya salah secara logika karena suksesnya marketing tidak langsung berarti superior in functionality.” 🙂
Pointnya adalah setiap argument dapat dianalisa ada tidaknya logical fallacy di dalamnya (e.g. existence of contradiction, irrelevant conclusion, etc), terlepas dari factual atau tidaknya argument tsb. Suatu argument yang mengandung logical fallacy tidak bisa dibilang benar (i.e. unacceptable by reason). Fakta yang merupakan data hasil observasi perlu diproses oleh akal/reason/logika sehingga memberikan makna yang bisa dimengerti. Karena itu kebenaran (dalam pengetahuan manusia) selalu dikaitkan dengan dua faktor ini (factual & logical). Wallahu’alam.
Tabe di…?!! (makassar red) (hatur nuwun dlm bhs jawa)
kalau menurut saya kebenaran itu tergantung persepsi dan preferensi kita masing2. Bahkan juga sangat tergantung dgn indera kita.
Preferensi orang indonesia ttg kebenaran berbeda dgn negara lain. Ini karena apa???
Menurut saya karena preferensi kita yg berbeda.
Budaya kita berbeda, tingkat pendidikan kita yg berbeda, dan berbagai hal lain yg berbeda. Jadi menurut saya kebenaran itu sangatlah relatif.
Akan tetapi ada juga kebenaran Mutlak.
Siapa yg bisa menyangkal bahwa Mas Romi itu emang jauh lebih pinter dari saya….. ;-))
Itu mutlak adanya untuk sekarang ini. Namun dia berubah relatif ketika kita menambahkan variabel waktu didalamnya.
Bisa jadi dimasa akan datang “statement” diatas gak bener.
Seperti teorinya Thomas Kuhn (klo gak salah tulis nama) Paradigma akan terus berubah sampai muncul paradigma baru yg lebih up to date dgn zaman.
Tesa akan terus berbenturan dengan antitesa sehingga menghasilkan sintesa baru.
Saya jadi ingat dgn kata guru saya baru2 ini. Teori itu benar adanya sampai kapanpun. Yang membuat teori itu mentah di dunia nyata adalah karena tidak terpenuhinya asumsi yang ada.
Wassalam
Hallo mas Romi,
Saya nggak nyangka kalau anda jg senang berpikir dan riset hal-hal yang bersifat rohani, soalnya saya kenal anda lebih banyak berkecimpung di dunia IT, beberapa kali saya ikut seminar-seminar berbau IT yang salah satu pembicaranya adalah anda.
Permisi ya mas, mau nimbrung comment, sorry kalau telat kasih commentnya.
Dari dulu saya paling senang mendengar dan membaca issue yg berujung pada jargon “Kebenaran”, saya juga nulis di blog pribadi tentang ini, please visit my blog site on http://www.rotogu.blogspot.com
Saya sependapat dengan pengelompokan yang anda sebutkan berkenaan dengan kebenaran yaitu kebenaran ilmiah, kebenaran non-ilmiah dan kebenaran filsafat. Namun kalau boleh saya tambahkan dari perspektif lain, sebenarnya ada pengelompokan lain lagi yang bisa kita buat:
1. Kebenaran Tuhan (Absolute)
2. Kebenaran Manusia (Relative)
Salah satu contoh kasus, ingat cerita Robin Hood?, seorang kesatria yang senang menolong rakyat miskin, namun caranya adalah dia mencuri harta materi dari orang-orang kaya dan bangsawan kemudian hasil jarahannya dibagi-bagikan kepada orang-orang miskin. Dari sudut pandang orang kaya yang hartanya di jarah, Robin Hood adalah penjahat yang patut dibantai, sedangkan dari sudut pandang orang miskin Robin Hood adalah ksatria pahlawan penolong orang lemah dan rakyat miskin.
Kalau kita renungkan dari kasus tersebut kebenaran dari sudut manusia menjadi bersifat relatif tergantung cara pandang masing-masing orang, bagaimana mengatasinya, yaitu dengan menggunakan indikator kebenaran sejati yaitu kebenaran Tuhan, bahwa yang namanya mencuri apapun alasannya adalah salah.
Inilah yang menjadi preseden buruk bagi kebanyakan paradigma orang, sehingga sampai-sampai membunuh pun bisa dibenarkan sesuai dgn sudut pandang manusia, misalnya membunuh karena alasan perang antara negara, seperti perang utk mempertahankan kemerdekaan, atau perang atas nama agama dll, padahal tidakkah seharusnya yang namanya membunuh adalah sama dengan menghilangkan nyawa orang lain dan adalah dosa. Inilah yang saya sebutkan tentang dilematis antara kebenaran relatif manusia VS kebenaran absolute Tuhan. Kebenaran manusia cenderung bersifat filosofis atau berbau filsafat sehingga akan selalu bermuara pada relatifitas, sedangkan kebenaran Tuhan (jika Tuhan itu memang benar-benar ada) seharusnya bersifat absolute, jika kebenaran Tuhan tidak mutlak maka Tuhan itu tidak eksis. Karena tidak mungkin Tuhan yang maha kuasa membiarkan kebenaran menjadi kacau balau tanpa ada sebuah “pakem”, paling tidak jika saat ini sepertinya demikian faktanya, namun saya yakin suatu saat nanti Tuhan pasti akan menyatakan dirinya dan kebenarannya di hadapan seluruh umat manusia pada hari akhir penghakimanNya kelak.
Salam,
Ronald T. Gultom
butuh kebenaran?, pelajari al Qur’an en hadist. ngomong kebenaran tanpa dasar, sama juga bohong. jadinya debat kusir….iya enggak?
Kebenaran?
Ada cerita b’ntar…begini :
Seorang bapak bersama anaknya dan seekor keledai sedang berjalan….
1. pertama2 bapak menaiki keledai dan anaknya berjalan dgn memegang talinya, ketika sampai di sebuah desa dan menjadi perhatian masyarakat disitu…katanya “wah, sibapak itu bukanlah seorang bapak yg baik kepada keluarganya, bayangkan saja anaknya saja dibiarkan berjalan kaki…tega nian”.
rupanya si bapak tadi mendengar ucapan salah seorang masyarakat tersebut, akhirnya ia menyuruh anaknya untuk menaiki keledainya….
2. kedua, anaknya diatas keledai sedangkan bapaknya kebalikannya…lalu berjalan dan sampailai di desa berikutnya…kebayang apa kata orang : “busyet nih anak baong pisan, piraku (masa) si anak tega bener tidak berbakti kepada ortunyee…”
dan itupun terdengar oleh si bapak dan si anak, taudeh si keledai dengar apa tidak 🙂 lalu merekapun berinisiatif untuk menaiki keledai berdua, baik si anak maupun si bapak…
3. jadi 1 keledai ditumpangi bapak dan anak….trus bersua dgn orang lain…kebayang apa jadinya kata orang itu…”Dasar tidak bermoral, tak berkepribinatangan…kejam bgt…apa kata Greepeace?”.
Inipun terdengar oleh mereka berdua, kecuali keledainya…
4. temen2 tau gak kira2 mereka berdua berbuat apa untuk melanjutkan perjalannnya…? yah, rupanya orang tua itu menyuruh anaknya untuk berjalan kaki bersamanya sehingga membiarkan keledainya tidak ditumpangi bersama….lalu mereka melewati desa berikutnya dan tentu saja bertemu dgn masyarakat desa itu…apa katanya? Katanya : “dasar manusia tak punya otak, kenapa tuh hewan tidak dimanfaatkan untuk ditumpangi…bodoh benar mereka…”. ucapan inipun terdengar oleh mereka berdua…dan keledai tak mungkin mengerti maksud ucapakan itu,namanya juga binatang gak mau tau…begitu katanya…:)
5. Nah kira2 menurut temen2 apa yang akan dilakukan oleh bapak dan anaknya tersebut? terserah temen2 deh yg jelas apakah keledainya dijual ataukah bla…blaa..yang jelas si bapak akhirnya berkata secara bijaksana kepada anaknya bahwa “hai anakku, apa kata mereka semua? begini salah begitu salah…begitu katanya benar tapi disalahkan…”. Tambahnya lagi “…Jadi hikmah yg bisa dimabil pelajaran adalah Nilai sebuah kebenaran adalah Relatif….,sebagaimana beberapa org buta menilai seekor gajah yg besar, kesimpulannya macem2….”
6. “Apa kata Dunia” kalau begini?
7. Padahal hukum alam ini sama, ngelempar batu di sono dgn disini sama2 ajah, jatuh akhirnya…Jadi ?
temen2 semua…Oh ya mas Romi pa kabar?
Boleh tambah komentarnya nih, mas ? Bersumber dari teman sy juga di http://www.rotogu.blogspot.com/ Sy sependapat bahwa kebenaran yg diungkapkan oleh setiap orang berbeda, tergantung dari mana kita memandang..sangat relatif. Padahal sebagaimana kita semua tahu bahwa sebenarnya di Dunia ini terdapat sebuah aturan alam yang sama. Dimanapun kita berada di muka bumi ini, baik itu di eskimo, eropa, amrik, asia maupun di Cengkareng sekalipun, tetap, Batu yg kita lempar ke atas pasti akan jatuh ke bumi.
Jadi, bagaimanapun cara orang sedunia melempar dgn gaya masing2 pasti hasilnya akan sama juga…batu jatuh ke bumi juga. Nah yg jadi pertanyaan adalah ini hukum alam buatan Siapa sih ? Siapa lagi kalau bukan Tuhan…(ada juga yg tak percaya existensi Tuhan, padaha dia mau tak mau terikat oleh ‘aturan alam’ tsb…tul ga?). Intinya adalah bahwa Kebenaran itu harus bersumber pada sesuatu yg membuat makhluk Kebenaran itu sendiri…yaitu Tuhan yg memiliki kebenaran Absolute.
Dan Tuhan telah memberikan aturan ‘hukum alam’ kepada manusia di Dunia ini. Akan terlihat sesuatu itu Benar dan Salah jika berpatok padaNya…
Terimakasih lagi mas Romi…:)
dalam pandangan filsafat ada bermacam-macam kebenaran.ada kebenaran agama,kebenaran ilmiah,kebenaran filsafat.mengapa demikian?
pak saya mahasiswa semester 5,perbedaaan penelitian dasar dengan terapan itu apa dan juga kalo contoh penelitian dibidang komp itu kayak gimana ato kayak perubahaan komp dulu ukurannya besar dan sekarang menjadi kecil……tolong ya pak habis bingung pak………..GBU
Salam hormat…!
aku salut dengan hasil analisa yang begitu mendalam dengan pendekatan yang rasional dalam thema utama yang bapak paparkan. dengan berbagai pendekatan yang digunakan dalam klasifikasi/kategori kebenaran antara manusia dan tuhan, sekaitan dengan realitas yang ada dalam hakekat kebenaran. dengan demikian tidakkah kebenaran Tuhan menjadi “terbatas” dengan adanya kebenaran Manusia. Ataukah manusia dengan subjektivitas yang melekat pada dirinya mengakui ada-nya kebenaran dari manusia!terima kasih…..
saya minta izin untuk mengutip tulisan bapak sebagai referensi tugas mata kuliah filsafat. terimakasih sebelumnya
kebenaran indrawi adalah kenyataan yang ditangkap indra. tangkapan indra juga punya karakteristik dan batas.kita tidak bisa menyimpulkan kenyataan sebagaimana tangkapan indra tersebut. warna bukan pantulan cahaya dengan spektrum tersendiri, bukan karakter yang melekat pada benda berwarna tersebut
salam,
saya fanny mahasiswi semester 5,,
saya ingin bertanya,,
minta penjelasannya ya pak mengenai relativisme kebenaran ilmiah dalam perpsepktif empiris..
terimakasih
mas mo tanya perbedaan dan persamaa kebenaran trialerror&spekulasi,terima kasih mas
Inti dari kebenaran itu ada 2
Pertama : Kebenaran Mutlak ( Dari Alloh dan Rosulnya )
Kedua : Kebenaran Semu (bisa benar dan bisa salah, yaitu yg datang dari manusia)
trus bagaimana kita menyikapinya?
Selama suatu kebenaran tidak bertentangan dengan dgn Wahyu yg datangnya dari Alloh dan dari Hadist Mutawatir(pasti shohih) yg datang dari Rosul..maka kebenaran itu bs kita jadikan rujukan.
Menurut saya, kebenaran itu mudah dan sangat sederhana kalau kita mau merujuk kepada istilah-istilah yang digunakan dalam al-qur’an. Kebenaran, kata dasarnya adalah benar. Kata benar di dalam al-qur’an disepadan maknanya dengan dua kata yaitu ash-shidqu (benar dalam arti seseuai sebagaimana adanya) lawan al-kidzbu (dusta dalam arti tidak sesuai sebagaimana adanya )dan al-haq lawan al-bathil. Kata “ada” meliputi semua yang syahadah (artinya dapat ditangkap oleh panca indra dan akal manusia ketika hidup di dunia)dan yang ghoib (artinya yang tidak dapat ditangkap oleh panca indra dan akal manusia ketika hidup di dunia). Untuk yang syahadah ini tidak adalah masalah. Untuk yang ghoib, hanya Alloh yang mengetahuinya. Dan Alloh mengetahui semuanya baik yang syahadah maupun yang ghoib. Al-qur’an adalah kalam/qoul Alloh dan kalam/qoul Alloh bersifat ash-shidqu (QS An-Nisa’ ayat 122).Ini berarti informasi yang ada di dalam al-qur’an tentang yang “ada” adalah benar dalam arti sesuai sebagaimana adanya, baik yang berkaitan dengan yang syahadah maupun yang ghoib. Kalau al-qur’an menginformasikan tentang adanya jin, malaikat, surga, neraka, adab kubur, dan yang lainnya berarti itu benar-benar ada, bukan khayalan atau apa.
Lalu benar dalam arti al-haq lawan al-bathil. Al-bathil artinya adalah sia-sia, tidak bermanfaat, tidak berpahala (QS Hud ayat 15 dan 16), maka al-haq, sebagai lawannya, maknanya adalah yang tidak sia-sia, bermanfaat, berpahala di dunia maupun di akherat. Siapa yang mengetahui sesuatu yang berpahala di dunia dan diakherat? Tiada lain hanya Alloh, maka al-haq pasti dari Alloh ( QS Al-Baqoroh ayat 147). Sementara itu al-qur’an adalah kalam/qoul Alloh yang juga disifati dengan al-haq (QS Yunus ayat 94), maka apa saja yang diperintahkan dan apa yang dilarang oleh Alloh yang ada di dalam al-qur’an adalah al-haq dalam arti jika dilaksanakan dengan ikhlas karena Alloh semata akan bermanfaat, berpahala di dunia dan diakherat. Misalnya,membaca ayat-ayat Alloh (QS Al-‘Alaq ayat 1,QS Al-Muzammil ayat 20), ayat-ayat Alloh itu meliputi al-qur’an dan seluruh ciptaan Alloh. Kalau kita membacanya karena Alloh semata maka itu akan membawa manfaat bagi yang membacanya didunia dan di akherat, inilah benar dalam arti al-haq. Dengan membaca itu kita tahu perintah-perintah dan larangan-larangan Alloh dan memahami ciptaan Alloh. Kalau kita membacanya karena selain Alloh maka ini akan bermanfaat,berpahala di dunia saja dan ini tidak termasuk di dalam benar dalam arti al-haq. Misal yang lain seperti sholat, makan dan minum yang halal dan baik, puasa, zakat, shodaqoh, adil, jujur, nikah, jihad, taat kepada pemerintah dalam perkara yang ma’ruf,tolong menolong dalam kebaikan, berbuat baik dan lain-lain yang semuanya itu ada di dalam al-qur’an dan as-sunnah.
Dengan demikian kita tahu posisi filsafat dan sains. Kalau sesuai sebagaimana adanya berarti benar dan sebaliknya kalau tidak sesuai berarti dusta. Lalu mungkinkah filsafat dan sains mencapai benar dalam arti al-haq?
semakin banyak orang berkomentar tentang kebenaran semakin meyakinkan saya bahwa hanya Allah Yang maha Benar.
Pada hakekatnya kebenaran itu ada pada semu8a pihak tetapi yang sering diperdebatkan adalah kebenaran mana yang paling tinggi dan merupakan mutlak perlu yang mana dengan sendirinya tidak dapat ditolak tetapi hanya di terima akan tetapi tidak ada unsur keterpaksaan didalam sikap menrim itu.
Kebenaran yah? ….
Kebenaran katanya beda dgn kebetulan.
Cuma ada satu pertanyaan: Kebenaran itu Relative atau Absolut? Tiap org punya kebenaran masing2, kebenaran atau pembenaran.
Secara konsep, kebenaran itu katanya lg adalah :
“Nilai2 luhur yg dijadikan prinsip dalam pengambilan keputusan untuk bertindak sebagai reaksi aplikatif aktifitasnya”. Begitu katanya….setuju tidak? Alo…
kebenaran itu kok gak cocok ama catetan harian?