Industri Software Lokal (Catatan Diskusi Metro TV)

Setelah sebelumnya diundang pak Djanjan (produser acara eLifeStyle Metro TV) untuk membawakan tema eLearning (6 Agustus 2005) dan Radio Internet (4 Pebruari 2006), saya kembali mengisi acara eLifeStyle Metro TV untuk tema industri software lokal, pada hari Sabtu tanggal 4 Nopember 2006. Kali ini saya diundang berdiskusi bersama pak Jarot Subiantoro (Ketua Aspiluki), dengan pemandu acara adalah mbak Meutia Hafidz.

romi-elifestyle-industrisoftware.jpg

Jujur saja, acara eLifeStyle Metro TV memang sangat pendek, durasi total 30 menit, tetapi sudah terpotong oleh video pembukaan, iklan dan berita teknologi di akhir acara. Jadi mungkin tersisa hanya sekitar 15 menit untuk acara diskusinya. Pembicara hanya diberi kesempatan menjawab satu kali untuk satu pertanyaan dan itupun segera diberi tanda untuk mengakhiri kalimat kalau agak panjang. Bagi rekan-rekan yang tidak puas dengan jawaban dan diskusi yang terpaksa saya pendekkan, saya coba menjelaskan kembali beberapa hal tentang industri software lokal dengan tetap fokus ke point diskusi di acara elifestyle Metro TV tersebut. Tidak lupa saya ucapkan terima kasih untuk mas izoel, sahabat maya saya yang sudah mencapture gambar di acara tersebut. Dan juga mas Risman Adnan yang selalu jadi teman diskusi berhubungan dengan software engineering dan juga industri software lokal.

# Benarkah perkembangan software lokal makin populer di Indonesia? Apa bukti dan indikasinya?

Saya mencatat paling tidak ada dua indikasi yang bisa kita pakai untuk melihat bahwa perkembangan software lokal mulai makin populer di Indonesia.

1. Laporan Research dari IDC:

  • Jumlah software house atau independent software vendor (ISV) di Indonesia tahun 2006 ini tercatat sekitar 250, dan terus berkembang hingga mencapai 500 dalam 5 tahun ke depan

  • Jumlah pengembang profesional (professional developer) sampai tahun ini tercatat 56.500 dan akan terus berkembang hingga mencapai 71.600 sampai tahun 2008 (total developer dunia mencapai 13,5 juta). Data IDC di bawah menunjukkan jumlah pengembang profesional Reqion Asia Pacific dari tahun 2001-2008, dimana angka dalam ribuan.

dataidc.png

2. Perkembangan Komunitas Pengembang (Developer Community) di Indonesia:

  • Lebih dari 200 komunitas, forum dan milis pengembang, baik yang berkumpul karena kesamaan bahasa pemrograman yang digunakan, atau bidang software yang digarap.

  • Penemuan menarik bahwa banyak project-project besar (sistem egovernment, eLearning, dsb) dibantu oleh developer community yang memproduksi software dalam bentuk freeware maupun opensource.

  • Banyak yang sudah mulai berkontribusi untuk project opensource secara terbuka (mendaftarkan diri dan aktif di sf.net)

# Sebenarnya darimana timbulnya inisiatif dan motivasi untuk menumbuhkan semangat memproduksi software lokal ini?

Laporan IDC mencatat bahwa dalam 5 tahun ke depan (2004-2009), sektor IT di Indonesia akan didominasi oleh IT Services. Pertumbuhan ini akan memberikan 81.000 lapangan pekerjaan dan menumbuhkan 1100 perusahaan IT baru yang akan memberikan penghasilan pajak sebesar 1.1 miliar USD dan berkontribusi sebesar 12 miliar USD terhadap GDP. Dalam periode tersebut software spending akan naik hingga mencapai 11.4% dari total IT Spending, khususnya di market vertical. 29.9% dari seluruh pekerja IT di Indonesia akan terlibat dalam pengembangan, pendistribusian atau layanan implementasi software.

Kesempatan ini harus dijadikan motivasi untuk menumbuhkan semangat pengembangan software lokal di Indonesia. Pasar sudah mulai terlihat, jadi tinggal menunggu strategi kita untuk bertempur didalamnya

# Di indonesia diprediksi ada sekitar 56.500 pengembang software, tapi malaysia dan singapura yang memiliki jumlah pengembang software di bawah indonesia mampu memproduksi software lebih banyak. Mengapa begitu?

Memang yang menjadi indikator utama yang menunjukkan kemampuan produksi software disuatu negara adalah jumlah perusahaan pembuat software (software house atau ISV) dan tentu saja jumlah professional yang bekerja sebagai developer. Kalau kita lihat benar bahwa malaysia dan singapore memiliki jumlah developer sedikit (18.100 dan 13.900 ), tapi mereka terhimpun dalam ISV yang jumlahnya banyak, mendekati china dan india. Artinya mereka terkoordinasi untuk menuju pasar dengan lebih efektif dan efisien. Berbeda dengan Indonesia yang developernya terpecah-pecah dan tidak terkoordinasi untuk membidik pasar, karena hanya kurang dari 250 ISV di Indonesia dan ditambah lagi sebagian besar developer bekerja secara individualistik atau komunitas yang kadang kurang profesional membidik pasar.

Kemudian indikator lain yang juga sangat berpengaruh berhubungan dengan kemampuan memproduksi software selain kuantitas diatas, juga faktor-faktor lain seperti kualitas developer (menguasai standard metodologi pengembangan software), kebutuhan pasar, akses terhadap kapital (software house tidak bankable, susah mencari pinjaman) dan proteksi terhadap hak kekayaan intelektual. Nah sayangnya kita juga lemah di ke-empat sektor tersebut.

Alasan diatas yang saya lihat mengapa meskipun jumlah developer kita besar, tapi kita hanya bisa memproduksi software lebih sedikit daripada singapore dan malaysia yang secara jumlah developer di bawah kita.

# Dari sekitar Rp 600 miliar pasar software, jatah untuk software lokal hanya sekitar Rp 100 miliar. Mengapa hal ini bisa terjadi atau mengapa software asing bisa lebih menguasai bagian terbesar dari pasar? Apa saja yang menyebabkan software lokal kurang mampu bersaing?

Masalah utama dari software house Indonesia sehingga kurang mampu bersaing adalah:

  • Keterbatasan pengetahuan dalam software development. Kurang pengetahuan tentang standard methodology (kebanyakan menggunakan hajar bleh methodology), sehingga begitu sotware diukur dari seluruh proses Software Development Life Cycle (SDLC)nya, kita kedodoran dan kalah bersaing.

  • Kurangnya ide dalam produk dan inovasi. Ini berhubungan juga dengan kurangnya sarana (pipa) penghubung dengan pihak yang membutuhkan software. Kebutuhan mungkin ada, tapi antara yang membutuhkan dan mengembangkan tidak bertemu. Perusahaan asing kebanyakan memiliki expert khusus untuk membaca kebutuhan pasar dan bergerak mencari pasar, serta membuat pipa koneksi bagi pihak yang membutuhkan dan pihak yang mengembangkan.

  • Kurangnya keterlibatan pemerintah untuk melindungi pengembang software lokal. Diperlukan proteksi yang “cantik” dan tidak vulgar terhadap industri software lokal. Kita mungkin perlu mencontoh Jepang, bagaimana kemampuan mereka mendukung software lokal office (Ichitaro) sehingga secara defacto menguasai pasar aplikasi office di sana, juga sistem operasi (OS) lokal bernama TRON yang kemudian banyak digunakan untuk peralatan gadget (HP, PDA) produksi Jepang.

  • Keterbatasan modal usaha. Ini berhubungan dengan perusahaan software rata-rata tidak bankable, banyak yang berumur muda, tidak memiliki aset nyata yang bisa digunakan sebagai agunan pinjaman ke bank. Akhirnya dalam project-project besar, software house kita banyak bertumbangan karena banyak project yang berbasis ke kualifikasi perusahaan.

# Seberapa signifikan pembajakan software menurunkan minat mengembangkan software?

Kita mulai dulu dari data, dalam satu semester, kerugian vendor pengembang untuk produk massal (MS, Symantec, Borland, Adobe) karena adanya pembajakan bisa mencapai 2,4 miliar USD. Di Indonesia sendiri, BSA menyatakan bahwa software yang memproduksi produk software masal di Indonesia dinyatakan rugi sebesar 3 juta USD atau setara dengan Rp 28 miliar. Hal itu turut mengakibatkan negara ikut merugi Rp 2,8 miliar (paling tidak dari pajak dan cukai). Sebagai catatan bahwa Indonesia saat ini tercatat masuk nomor 3 dalam ranking negara pembajak dibawah Vietnam dan Kamboja. Prosentasi pembajakan di Indonesia mencapai 87%. Sebuah studi yang diselenggarakan baru-baru ini oleh IDC, menemukan bahwa industri teknologi informasi (TI) di Indonesia bernilai 1 miliar USD dan pengurangan sebesar 10 poin terhadap prosentase tingkat pembajakan tersebut dapat memacu pertumbukan industri TI di Indonesia sampai dengan 2,4 miliar USD.

Paling tidak dua hal diatas cukup menurunkan semangat pengembang software di Indonesia dalam usaha merintis bisnis pengembangan software.

Yang menarik sebenarnya, ini bisa diatasi dengan negosiasi gaya Indonesia. Yaitu dengan menggunakan pendekatan secara langsung terhadap root pembajak software Indonesia untuk mau mendukung software lokal, dengan menawarkan sharing penjualan yg menarik, tapi dengan syarat tidak menjual bajakannya. Sudah ada beberapa vendor software lokal melakukan hal tersebut, dan sepertinya cukup efisien.

UU HAKI 19 Tahun 2002 sudah diundangkan, tapi pelaksanaan masih belum menggembirakan. Dilema juga terjadi karena secara ekonomi, masyarakat akan kesulitan membeli software-software propietary. Kampanye penggunaan software legal perlu tetap diteruskan, masyarakat sebaiknya diberikan pilihan dan solusi dalam kampanye penggunaaan software legal tersebut:

  1. Beli lisensi software apabila ingin menggunakan software propietary
  2. Selain itu silakan gunakan software opensource maupun freeware

ttd-small.jpg