Branding University
Menarik membaca buku terbitan Tempo berjudul Panduan Memilih Perguruan Tinggi 2008 [1], khususnya masalah jurusan dan universitas terbaik menurut pandangan masyarakat. Ceritanya Pusat Data dan Analisis Tempo (PDAT) membuat penelitian berbentuk survey yang mencoba melihat seberapa jauh branding sebuah universitas terbentuk di kepala masyarakat. Survey ini menjadi menarik karena hasilnya ditampilkan dalam bentuk grafik perangkingan universitas. Jujur saja, hasil perangkingan universitas memang tidak menggunakan pendekatan akademik seperti yang ditempuh oleh ARWU, THES maupun Webometrics. Tapi terpentalnya universitas-universitas besar seperti UI dan ITB menjadi menarik dikaji lebih dalam. Universitas adalah sebuah institusi, institusi yang mencari mahasiswa sebenarnya mirip dengan perusahaan yang mencari pelanggan. Universitas juga pasti memerlukan marketing dan brand (image building). Yang akhirnya institusi menjadi matang dan kuat setelah institution building-nya juga dikerjakan dengan baik. Apakah universitas di Indonesia menuju ke Branding University? Ikuti terus tulisan ini 🙂
Ada dua hal yang menarik dari survey yang dilakukan PDAT. Yang pertama adalah tentang tingkat awareness terhadap universitas pada suatu jurusan, sedangkan yang kedua adalah persepsi masyarakat dan dunia kerja tentang universitas terbaik pada suatu jurusan. Karena core competence saya hanya di bidang computing, tentu yang saya bahas dan ambil dari hasil survey Tempo adalah untuk bidang computing atau teknologi informasi saja. Untuk bidang yang lain, silakan baca baca sendiri yah 🙂
Pada survey tingkat awareness terhadap universitas digunakan model survey branding seperti umumnya, dimana tingkat awareness diukur dari tiga level:
-
Top of Mind (ToM): Nama universitas yang disebut pertama kali, yang paling menancap di benak responden
-
Spontan (Unaided Awareness): Nama universitas yang dapat diingat spontan dan tanpa bantuan
-
Dibantu (Aided Awareness): Nama universitas yang berhasil disebut karena dibantu atau dipandu
Kita bisa hasilnya dari gambar di bawah. ITB secara ToM tercatat paling tinggi (28%), meskipun ketika dihitung total terpental ke urutan ke-4. Tiga universitas yang menguasai brand untuk jurusan computing dan teknologi informasi di Indonesia adalah Binus, UI, Gunadarma. Sedangkan ITS, UGM dan Unibraw terpental lebih jauh 🙂 Universitas Trisakti dan UPH tercatat sebagai universitas swasta yang ikut muncul dalam percaturan brand university wa bil khusus untuk jurusan komputer. Semua data dan grafik diambil dari referensi [1].
Survey kedua dari PDAT adalah persepsi masyarakat dan dunia kerja tentang universitas terbaik pada suatu jurusan, dalam hal ini yang saya kutip adalah jurusan computing atau teknologi informasi. PDAT menggunakan teknik analisis Thurstone untuk menggambarkan fenomena ini. Hasilnya juga cukup mencengangkan 🙂
-
Persepsi masyarakat berhubungan dengan universitas terbaik untuk jurusan computing seperti gambar paling kiri. Binus meninggalkan ITB dan UI yang secara jarak relatif dekat. Gunadarma menyusul dibawahnya. ITS, UGM, UPH, Budiluhur, Trisakti, dan Unpad berebut tempat klasemen bawah dengan nilai yang berdekatan.
-
Persepsi dunia kerja menempatkan ITB pada skor tertinggi, disusul Binus, UI dan Gunadarma. Lihat gambar sebelah kanan.
-
Ketika kedua parameter itu digabung, hasilnya adalah seperti pada gambar paling bawah. Binus dan ITB berkuasa, disusul UI dan Gunadarma. Sedangkan ITS, UGM, Trisakti, UPH, Budiluhur, dan Unpad susul menyusul di bawahnya.
Hasil penelitian PDAT ini tentu debatable, karena hampir tidak menggunakan pendekatan dan parameter akademis apapun dalam penentuan rangking universitas. Tapi perlu kita perhatikan bahwa dalam dunia nyata yang semakin fana ini, faktor image building menjadi faktor penting dalam terbentuk dan berjalannya suatu organisasi, selain faktor institution building.
SMA Taruna Nusantara adalah contoh menarik, saya masuk sebagai angkatan pertama tahun 1990. Dari sisi logika tentu tidaklah mungkin sekolah ini akan menjadi sekolah yang baik dan berprestasi di kemudian hari. Masih terekam di kepala, ketika saya pertama kali menginjakkan kaki ke SMA Taruna Nusantara, bangunan belum banyak yang jadi, status sekolah terdaftarpun mungkin tidak, guru hasil transfer dari SMA lain yang belum tentu siap dengan pendidikan gaya militer, dan kalau kita lihat dari sisi kurikulum pendidikan pun belum tertata dengan baik. Terlepas dari semua itu, brand sekolah dibentuk dengan sangat dahsyat melalui berbagai media massa, bahwa ini adalah sekolah terbaik, berkualitas, bahkan diberi brand sekolah calon pemimpin bangsa. Pembukaan tahun ajaran dilakukan oleh Panglima ABRI dengan diiringi oleh kunjungan para menteri, pengusaha dan duta besar negara asing. Saya yakin ini adalah penerapan konsep image building yang sangat brilian.
Terus bagaimana dengan institution building? Gaya Pendidikan dengan theraphy positive khas militer diterapkan untuk membentuk disiplin dan mental. Beberapa spesialis pembimbing mental (bintal) Taruna Akabri didatangkan. Jargon-jargon yang tersebar dalam proses image building digunakan dan dikemas dalam bentuk lagu dan mars, yang dinyanyikan setiap siswa pada saat baris berbaris, lari, konvoi, apel atau kalau perlu pada acara makan 🙂 Semua untuk memacu adrenalin siswa, mengajak semua siswa untuk belajar lebih keras dan keras lagi. Berbagai metode influence tactic diterapkan oleh guru (pamong) dan pengajar. Tidak sampai 1 tahun setelah itu semua, hasil proses institution building ternyata mulai bisa mengiringi hasil image building. Media massa mulai menampilkan berbagai prestasi siswa yang bukan hanya klaim dan brand semata, tapi terbukti dalam berbagai kompetisi nasional maupun international.
Kembali ke masalah branding di universitas, dari berbagai data PDAT yang kita bahas diatas, harus diakui secara jujur bahwa brand Binus menancap cukup lekat ke dalam benak masyarakat dalam bidang computing. Ini adalah buah sukses keberhasilan proses marketing dan branding yang digarap serius oleh Binus. Dan ini harus diikuti oleh proses institution building, memperbaiki kualitas dosen dan mahasiswa. Binus harus mulai mengembangkan investasi ke SDM, meningkatkan kesejahteraan dosen, memberi insentif dan beasiswa untuk melanjutkan kuliah ke S2 dan S3, dsb. sehingga cap comot SDM sana sini tidak ada lagi 🙂 Rasio mahasiswa-dosen di kelas juga mulai harus diperhatikan, tidak hanya mengejar kuantitas mahasiswa saja tapi juga kualitas belajar mengajar.
Di lain pihak, untuk universitas negeri yang selama ini merasa berada di comfort zone, mulai harus bergerak dan memikirkan kembali strategi branding dan marketing yang efektif dan efisien. Jaman sudah berubah total, kefavoritan ITB, UI, ITS, UGM, dsb sudah mulai tergerus oleh kekuatan branding yang dilakukan secara profesional oleh universitas-universitas swasta. Menunggu mahasiswa mendaftar adalah kuno, mengenalkan diri, berpromosi dan proyek jemput bola harus mulai digulirkan untuk mendapatkan mahasiswa-mahasiswa yang berkualitas.
Time will tell, siapa yang akan menjadi pemenang dari kompetisi ini. Yang pasti, dari sudut pandang (calon) mahasiswa, tentu ini arah yang positif, karena sudah diposisikan sebagai pelanggan. Universitas juga tidak bisa semena mena terhadap mahasiswa seperti dulu lagi. Infrastruktur harus dilengkapi, perpustakaan, internet, komputer harus banyak disediakan untuk memberi layanan yang baik kepada mahasiswa. Dosen juga harus mulai berpikir bagaimana menyampaikan mata kuliah yang diajar dengan baik dan benar serta “terang benderang” kepada mahasiswa. Dosen yang sak karepe dewe dan pinter untuk dirinya sendiri akan tergerus oleh dosen-dosen muda yang enerjik, terampil dan punya berbagai teknik untuk memahamkan mata ajar ke mahasiswa 🙂
Untuk sahabat-sahabatku sivitas akademika universitas dimanapun berada, jalan yang kita pilih mungkin sukar, gelap dan mendaki ;). Tapi mudah-mudahan kita semua tetap dalam perdjoeangan …
REFERENSI:
[1] Sri Indrayati et al, Sri Malela et al (editor), Panduan Memilih Pergurauan Tinggi 2008, Pusat Data dan Analisa Tempo, 2008
Ah…itu khan hanya survey aja.
Dunia kerja sekarang tidak membutuhkan nama besar universitas dimana dia mengenyam pendidikan walaupun ada juga namun kecil sekali.
Di IT segala sesuatu dinilai dari Knowledge dan Skill.
Walaupun seseorang pemrogram atau web desain di perusahaan, walauapun dia S1,S2 atau S3 sekalipun, kalau tidak bisa mengembangkan aplikasi, administrasi database atau maintenance sistem. Tidak lama juga pasti akan ditendang dari perusahaan.
Jadi kami rasa nggak pengaruh survey itu.
wekssss, PT saya kok gak masuk ya kekekke? gpp saya juga berencana untuk menjadi entreprenaur (betul apa g tulisannya ya?) bukan menjadi bawahan ….
#Rio: Mantab mas. Yup aku setuju kok. Aku melihatnya dari sisi kualitas layanan university ke mahasiswa. Kalau tentang kesuksesan seseorang memang nggak ada hubungannya dengan sekolah atau universitas kan. Juga memang posting ini tidak diarahkan ke sana. Masalah pengembangan diri (SDM), aku bahas beberapa topik khusus misalnya masalah keunggulan defacto dan dejure.
Kalo PT sdh berlaku spt perusahaan komersial, apa nanti biaya pendidikan tdk akan jadi lbh mahal? Ujung2nya masyarakat tak mampu makin susah dpt pendidikan bermutu.
time will tell…bagaimana univ2 negeri bisa bertahan dengan univ2 swasta yg dikelola lebih profesional…
institut saya ndak disebut..
gpp lah. saat kita berada dalam suatu organisasi, jangan sampai kita mengandalkan nama besar organisasi tersebut. Yang penting kita manfaatkan keadaan yang ada untuk pengembangan diri kita… Salam buat Mas Romy… ^^
#Anis: Itu salah satu PR penting Universitas mas. Fak Kedokteran kayaknya dah menjelma menjadi fakultas untuk orang kaya … heheh
#Fisto: Yup. Alhamdulillah ada yang berhasil menangkap inti dari posting ini … hehehe
#Asfarian: Setuju mas. AKu juga bukan dari univ besar kok hehehe
saya sepakat dengan pak romi, bahwa branding sebuah kampus baik itu negeri sangat perlu dilakukan. jangan sampai gara2 bawa nama negeri akhirnya ngak usah branding nanti datang sendiri, pola fikir kampus seperti itu kayaknya perlu diubah apalagi kampus swasta semakin menunjukkan taringnya.
Kampus saya (ITS) sekarang sudah melakukan CSR (Corporate Social Responsibility) yang biasanya company melakukannya, saya rasa salah satu branding image yang baik di masyarakat.
emang sih klo saya liat univ swasta branding-nya bagus dibanding negeri, karena mereka ada anggaran untuk itu, mereka harus berjuang untuk melawan ke-swastaan itu, tau sendiri nama besar NEGERI masih menancap dibenak masyarakat pada umumnya (baca daerah).
Yang jadi persoalan di beberapa swasta, banyak yang melakukan branding dengan baik, tapi melupakan kualitas (binus, gunadarma dkk perkecualian kali yah). selain itu banyak juga Univ swasta mengejar branding dengan transaksi nilai, siapa bayar mahal maka dapet nilai bagus, maka berbondong2lah orang kaya masuk swasta karena pasti nggak akan jemblog nilainya.
sedangkan persoalan NEGERI, branding awal bagus, orang dalam lebih mikirin pemasukan, pemerintah cuek, dan jadilah kampus seadanya. kualitas melempem, branding melorot tahun per tahunnya.
Intinya, klo PTN di-re-branding maka akan tak terkalahkan oleh swasta
Kalo menurut saya survey diatas malah cerdas sekali. Karena saat ini memang brand yang paling berpengaruh. Untuk orang yang penah duduk disisi manajemen perusahaan pasti tahu kalau asal universitas sangat mempengaruhi cara perusahaan menghargai seorang pekerja (maksudnya dari segi gaji dan perlakuan)
Walaupun kesuksesan ditentukan pribadi masing-masing, tapi pekerja yang berasal dari universitas yang brand-nya bagus punya posisi awal yang baik sehingga menguntungkan untuk karier kedepan.
brarti image PTN lbh baik dr swasta mungkin udah gak berlaku ya, mas Romy? 🙂
tp klo biaya kuliah mungkin PTN lbh murah dr swasta
kampusku kagak pernah masuk hitungan,
terdengar sayup-sayup…kqkqkqk
…biaya kuliah mungkin PTN lbh murah dr swasta
belum tentu juga Mas Toim.
Dipungkiri atau tidak standar kompetency perguruan tinggi saat ini sudah menjadi tolak ukur, sebagai karyawan di instasi swasta PMA, kredibilitas kampus sangat memengaruhi dalam perekrutan karyawan.
benar pula anggapan soal enggak perlu nama besar perusahan, tapi aku punya pengalaman di tolak masuk kerja karena bukan lulusan universitas terkemuka
dan di tolak karena setalh di tijou secara administratif kampus masih akreditas “D”.
maaf mas kita hanya menerima akreditas A, B, C hal yang menyakitkan di tengah manjamurnya perguruan tinggi swasta dengan kelas extention atau di beri kemudahan untuk bagi karyawan tapi setelah lulus, ijazahnya tidak laku.
harusnya memanga harus ada DMAIC tentang perguruan tinggi dan uji kompetency jadi tolak ukurnya bukan pada nama kampus tapi kualitas pendidikanm,
Ups! Ilmu Komputer IPB kok belum terdengar ya pak romi…?
masa’ kampusku ga masuk. padahal di kompetisi smacam Pimnas, atopun Imagine Cup -nya Microsoft, kampusku slalu jadi finalis. huhuhuhu.. :crying:
wah, sayang yang dibranding cuma yang PTN aja,,, coba yang swasta juga ya…
whehehe… sy suka kalimat terakhirnya mas… 🙂
Membaca postingannya Pak Romi, saya jadi berfikir bahwa perguruan tinggi sudah semestinya segera menerapkan teknik-teknik pemasaran modern untuk melakukan repositioning dan image building serta brand management.
#Rafki: Yap intinya seperti itu mas 🙂
#Dhedhi: Selama ini yang bagus brandingnya kan justru malah swasta mas 🙂
ahh sial, PT gw juga ga masuk.
tapi kalo kerja yang ditanya (kalo IT) paling2:
“ipk berapa?” atau “bisa ini ga?” atau “bisa itu ga?”
buat yang PT nya ga masuk, SEMANGAT !!!
yang penting bisa koding ampe mampus trus bikin bos lu ngangguk2 kegirangan itu lebih dari cukup…
😀
memang kalau ilmu komputer dan informatika..UI tuh gak ada apa-apanya dibanding Binus dan Gundar. tetapi kalo MIPA-nya bisalah bersaing….(mungkin karena Univ Swasta jarang yang membuka Fakultas MIPA….:D)
memang sekarang paradigma harus berubah, dahulu memang PTN merajai, sebab jarang Perguruan Tinggi di Indonesia. tetapi sekarang dengan berjubel-nya sarjana di Indonesia, terutama Jakarta. kayaknya latar belakang PT hanya mumpuni buat di depan calon mertua… 😀
bagaimanapun survey cukup berguna untuk menarik minat mhs
tetapi, tetep aja ..life is contributed
jadi..alumni mana yg memberi banyak solusi
IT di Indonesia???
saya masih percaya ITB, UI dan universitas lain yg dah lama…tetep mengambil peran signifikan.
Ubinus? Gunadarma?
masih sebatas kuda hitam,
Apa pernah ada survai mengenai berapa persen dari tamatan universitas yang bekerja atau membuka lapangan kerja atau malah jadi pengangguran intelektual yah ?
#Khalid: Sayangnya saat ini belum ada survey tentang itu om 🙂
Ilmu Komputer IPB ga masuk 🙁
# ben saya suka sekali statement anda ” kayaknya latar belakang PT hanya mumpuni buat di depan calon mertua”
# Khalid Mustafa saya juga pengen tahu tuh survey nya mas….
Saya kira perangkingan ini, lepas dari seperti apa input dan output mahasiswanya,sangat perlu dilakukan.jelas karena ini bisa menjadi semacam mirror reflection bagi kampus itu sendiri untuk lebih meningkatkan lagi kualitas imagenya di mata masyarakat,khususnya adik2 yang ingin masuk ke kampus tersebut.
sudah saatnya emang pihak kampus mengemas kampusnya dengan teknik marketing yang revolusioner mengingat untuk orang indonesia sendiri keputusan untuk menilai sebuah kampus menurut saya masih sangat dipengaruhi oleh ‘kata orang lain’,’isu yang beredar’,’kata pakar’ dan kata-kata lain yang sifatnya masih mendisobjektifkan realita output mahasiswa yang dihasilkan oleh kampus tersebut dibanding dengan kampus lain.ini menurut saya yang menarik.dan bisa dimanfaatkan oleh kampus2 untuk memulai strategi marketing yang lebih efektif.
Wah…, hasil surveynya tidak valid nih, yang melakukan survey dan yang disurveynya siapa dulu? jangan2 karena Sri Indrayati et al, Sri Malela et al (editor), tidak pernah kenal Ilmu Komputer IPB atau memang anti IPB? 🙂
Ubinus? Gunadarma? bisa apa? fasiliti mungkin OK, tapi mahasiswanya? lulus UMPTN atau via USMI aja mungkin kagak bisa. Pokoknya seperti konsep DBMS, garbage in garbage out. Kualitas output di tentukan kualitas input. Jangan mentang2 masuknya mahal trus dibilang bagus, buktikan dulu lulusannya. Nama universiti mungkin boleh mudah diucap, tapi klo kemampuannya nggak ada gimana?
UI dan ITB sih OK, jelas qualified.
#Khalid
Saya tertarik ingin melihat hasilnya kalau ada survey semacam itu 😀
#Arief: Sabar mas, njawab riset valid dan tidak ya dengan riset yang lain dong … hehehe. Coba pahami paragraf pertama, dan kenapa saya beri judul Branding University, pasti akan tahu inti dari tulisan ini …:)
Yup, kualitas dari sebuah perguruan tinggi hanya beberapa persen saja yg dipengaruhi oleh brand image yg telah tumbuh. Sebuah survey pun hanya mengambil sample dari beberapa bagian saja, walaupun terkadang mampu memetakan opini tentang suatu hal namun kadang jg tak dapat dijadikan pembenaran terhadap suatu hal.
Tergantung bagaimana ke”Arief”an anda menyikapinya 😀
-Students of IT Telkom (d/h STT Telkom), Bandung-
@khalid mustafa
Sebenernya ada survey seperti itu,cuma mungkin untuk internal kampus tertentu aja…saya punya data tentang hasilnya (dari kampus saya tentunya).kalo mau bisa saya emailkan!:)
#Dito: Dipublikasikan di mana mas penelitiannya? Object penelitiannya alumni dari satu universitas saja atau lebih luas?
Perekrut dari luar negeri (PdLN): Saya cari nama anda kok gak ada di Google? Katanya sarjana komputer dari Indonesia, kok gak ada tanda-tanda aktivitas anda yang bisa terekam di rana internet?
Sarjana Indonesia Pencari Kerja (SIPK): Tapi saya sarjana komputer dari universitas XXX, itu ternama lho di Indonesia?
PdLN: Hmm maaf saya gak pernah dengar itu sama sekali. Hmm kamu pernah nerbitin jurnal gak, soalnya kampus di Indonesia gak ada yg punya standar baku dan direkomendasikan disini.
SIPK: Hmmm..
PdLN: Kami lebih percaya sertifikasi internasional, kamu punya gak? Hmm.. kami lebih percaya sertifikasi internasional, maaf, soalnya kami masih belum tau jaminan standar satupun universitas di negara Anda.
SIPK: Hmmm..
#Subair: hehehe … mantab ilustrasinya om 🙂
he..he.. harus terekam di google ya nama kita kalau mau masuk kerja 🙂
Top markotop…
SIPK: Hmmm..
PdLN: Gimana?… Kamu tau perusahaan ini dari mana?
SIPK: Dari google pak…
PdLN: Apa yg membuat kamu tertarik dengan perusahaan ini?
SIPK: Gak tau pak, profilnya sih bagus..
PdLN: Sstt… ini rahasia lho,… gak sebagus itu sebenarnya, perusahaan ini banyak utang,.. biar keliatan keren ya kami tulis aja bagus2 di internet..
SIPK: Ah, masa sih pak?
PdLN: Ya, semua perusahaan banyak utang, semakin besar perusahaannya, semakin besar hutangnya. Kalau dipikir2 perusahaan itu jadi milik bank. Wong operasionalnya utang melulu ke bank, mau berkembang juga ngutang ke bank. Kalau kreditnya macet, ya disita toh sama bank. Ya artinya punya bank itu perusahaan.
SIPK: Oh, gitu ya pak?
PdLN: Ya, mendingan kamu buka perusahaan sendiri saja, coba deh gak usah ngutang.. pasti gak bisa..
SIPK: ????… Kamu lulusan mana toh pak?
PdLN: PT luar negeri lho, XXX
SIPK: sebentar saya searching…
PdLN: gmn?
SIPK: Kok gak ada pak?..
PdLN: Lha wong gak terkenal kok.. gimana mungkin ada
SIPK: Lha? sama donk pak?
PdLN: Lha iya, kamu itu goblok mau ngelamar ke perusahaan yang gak jelas..
SIPK: Ya mana saya tau,.. wong saya cuma pingin cari kerja kok
PdLN: Makanya belajar yang bener. Kalau dari sananya bodoh, ya mau diapain. Buka perusahaan saja sendiri dari pada gak laku, wong kamu bodoh gara-gara sering melakukan riset sendiri toh? sampai pelajaran kampus susah nyangkut.
SIPK: iya sih pak, thanks atas sarannya.
PdLN: Ya,..
SIPK: Ada modal gak pak?
PdLN: Lha, utang saya aja numpuk. Pinjam sana ke bank..
SIPK: Lha, katanya tadi jangan ngutang pak? saya jual sawah saja deh pak..
PdLN: Ya, itu lebih bagus, lebih bagus lagi kalau kamu jual beli tanah, lebih nyata hasilnya daripada buka software house. HAhHAHSAHSashasah
SIPK: (Dasar Gila ini orang…)….
Mas Romi, sayangnya ga disebutkan responden survey itu dari daerah (kota) mana? itu penting untuk pemetaan, karena sebagian besar universitas yang disebut dr Jakarta (kecuali beberapa univ negri).
univ swasta di daerah ga ada yg disebut, apa karena ga terkenal, atau respondennya warga ibu kota semua????
#Heri TL: Coba nanti njenengan cari dan baca bukunya … hehehe. Aku harus dapat royalti nih karena ngelarisin buku PDAT …
Mas Romi, saat ini adalah era globalisasi yang 3. Kenapa? Karena kita tidak melihat lagi dari mana atau sekolah mana atau dengan kata lain “menjual merk sekolah” namun yang terpenting adalah apa yang dapat kita jual dari diri kita sendiri alias kompetensi pribadi. Bagimana, setuju?
#Arif: Yap setuju, baca tulisan saya di blog yang mengupas buku Thomas Friedman (The World is Flat). 3 versi globalisasi itu adalah ungkapan dari friedman. Terus masalahnya apa yah? 🙂 Sebenarnya gak di luar konteks dari inti diskusi yang ada di posting ini sih. Saya membahas dari sisi institusinya, bukan dari personal mahasiswa, dosennya, atau kreatifitas maya yang mereka buat 🙂
salam kenal mas.
saya aja dr kampus ga terkenal tp sering dapat tawaran buat desain web dan desain baleho. kadang juga suruh bantu dalam EO. jadi menurut saya, kebanyakan mahasiswa sekarang masih memikirkan nilai padahal dunia kerja sekarang lebih mementingkan untuk mencari tenaga baru yang mempunyai skil, kemampuan dan kreatifitas.
Kok ga ada branding universitas yang paling murah yah..meskipun top tapi yang kuliah orang-orang itu saja ya kapan roda akan berputar.
dari UGM kok, tenang2 aja. Padahal ada yang menang Google Summer Of code lo
#Aziz: Harusnya prestasi temen-temen seperti itu digunakan untuk branding mas 🙂
Sekolah lagi, ah. Kampusku gak dianggap.
Ayo, semangat!!!
Wuiihh……..
makin banyak Univ, makin banyak referensi, makin banyak saingan dan makin banyak yang lainnya deh……..
Di otakku msh nempel kalimat begini….
“Sekolah swasta fasilitas oke tapi murid belum tentu oke. Sekolah negeri fasilitas belum tentu oke tapi murid yang bisa dibilang oke.”
Ini pengalamanku yang pernah belajar di SD swasta, tapi masuk SMA negeri, yang mo protes ya silakan…
Bingung nih aku mo kul di mana………..??!!
Om katanya mau ke acara pembukaannya TI Unsoed kapan????
bner ga sih????kok di scedule nya ga ada????
sory mas belum saya llihat bln agustusnya….
maaf… ternyata masih lama kan???
#Ven: hehehe yap masih lama. Aku dukung penuh lah perdjoeangan om Nurul dan temen-temen di Unsoed 🙂
Om Romi, panduan yang pas nih buat calon mahasiswa baru, hehe suatu penelitian jika diadakan secara independent kemungkinan besar hasilnya tidak akan bias, dengan sampling error yang besar. Sama ketika saya masih kecil, ditanya ingin mau jadi apa? sebagian besar menjawab ingin menjadi dokter , atau tidak ingin menjadi insinyur . Karena apa? kebanyakan dari orang tua seperti memberikan stigma kepada anaknya, agar jika ingin sukses raihlah cita-cita dengan menjadi dua pilihan tersebut, meskipun pada realisasinya seseorang dapat mampu berkembang bukan hanya dari bangku kuliah saja, dapat juga berkembang dari lingkungan sekitarnya , bangku kuliah hanya sebagai kebanggaan formalitas saja.(woops) 😀 .. Go Netpreneur, Entrepreneur…