4 Jenis Mahasiswa, Anda Termasuk Yang Mana?
Pada saat menjadi mahasiswa baik di program S1, S2 maupun S3 di Jepang, saya mengalami berbagai proses pembelajaran yang kadang bikin geli kalau mengingatnya sekarang. Proses belajar ternyata membuat jenis dan karakter saya berubah-ubah. Kadang saya nggak sadar dengan ketidakmampuan saya, tapi kemudian kenyataan menyadarkan saya bahwa saya tidak mampu, dan akhirnya setelah saya belajar keras saya jadi sadar apa saja kemampuan saya. Di sisi lain agak sedikit berbahaya ketika saya tidak sadar dengan kemampuan saya. Jadi kayak bunglon dong? Hmm lebih tepatnya bunglon darat ;). Terus saat ini anda termasuk jenis mahasiswa yang mana? Mari kita lihat bersama.
1. Mahasiswa Yang Tidak Sadar Akan Ketidakmampuannya (Unconsciously Incompetent)
Tahun 1994, kehidupan saya di Jepang di mulai. Saya beserta 14 orang yang lain sekolah bahasa Jepang di Shinjuku, nama sekolahnya Kokusai Gakuyukai. 1 tahun belajar bahasa Jepang, kita berhasil menghapal sekitar 1000 kanji. Kemampuan bahasa Jepang level 1 menurut Japanese Language Proficiency Test alias Nihongo Noryoku Shiken. Kebetulan karena saya senang nggombalin orang ngomong, percakapan bahasa Jepang saya cukup terasah (pera-pera). Di Kokusai Gakuyukai, kita juga diajari pelajaran dasar untuk Matematika, Fisika dan Kimia. Ini juga nggak masalah. Kurikulum Indonesia yang padat merayap plus rumus-rumus cepat ala bimbel :D, membuat soal-soal jadi relatif mudah dikerjakan. Karena saya newbie di dunia komputer, padahal harus masuk jurusan ilmu komputer, saya beli komputer murah untuk saya oprek. Newbie? yah bener, saya gaptek komputer waktu itu. Saya kerja keras, saya bongkar PC, saya copoti card-cardnya karena pingin tahu, sampe akhirnya rusak hehehe. Terus nyoba mulai install Windows 3.1. Lebih dari 3 bulan, tiap malam saya keloni terus itu komputer, jadi lumayan mahir lah. Tahun 1995, masuk ke Saitama University dengan sangat PD dan semangat membara :). Nah pada tahap ini saya sebenarnya masuk ke jenis mahasiswa yang tidak sadar akan ketidakmampuannya. Dikiranya semua sesuai dengan yang dibayangkan dan diangankan.
2. Mahasiswa Yang Sadar Akan Ketidakmampuannya (Consciously Incompetent)
Masuk kampus, ternyata bekal kanji 1000 huruf nggak cukup. 1000 kanji itu level anak SD atau SMP di Jepang. Saya perlu lebih dari 30 menit untuk membaca 1 halaman buku textbook pelajaran, padahal orang Jepang hanya perlu 2-3 menit 🙁 Kemahiran percakapan juga nggak banyak menolong karena mahasiswa Jepang membentuk grup-grup. Saya satu-satunya mahasiswa asing di Jurusan, nggak kebagian teman, meskipun sudah kerja keras tegur sapa, ngajak kenalan, nanya jam, nanya mata pelajaran, dsb. Matematika, Fisika, dan Kimia sebenarnya mudah, hanya masalahnya karena Kanji terbatas, kadang saya nggak ngerti yang ditanyain apa. Jadi kadang saya kerjasama dengan mahasiswa Jepang disamping saya, dia ngerti apa yang ditanyain, tapi nggak bisa ngerjakan. Sebaliknya saya nggak ngerti yang ditanyain, tapi sebenarnya bisa ngerjain … hehehe. Untuk praktek di lab komputer, ternyata semua pakai terminal Unix (Sun), sama sekali nggak ada mesin yang jalan under (Microsoft) Windows. Yang pasti, harus sering mainin command line di shell, untuk ngedit file hanya bisa pakai emacs, browsing hanya bisa pakai mosaic, laporan harus pakai latex, buat program harus pakai bahasa C atau perl (CGI) untuk yang berbasis web. Kenyataan membuat saya sadar akan ketidakmampuan saya :).
3. Mahasiswa Yang Sadar Akan Kemampuannya (Consciously Competence)
Karena sadar bahwa banyak hal yang ternyata saya belum mampu, yang saya lakukan adalah belajar keras. Saya kurangi tidur, saya perbanyak baca, perbanyak beli buku, beli kamus elektronik, banyak diskusi dengan teman-teman mahasiswa Jepang. Saya mulai banyak bermain-main dengan Linux dan FreeBSD di rumah untuk kompatibilitas dengan tugas kampus. Nyambung internet dengan dialup, mulai belajar mengelola server, mulai membuat program kecil-kecilan dengan bahasa C dan Perl. Banyak kerja part time, mulai dari nyuci piring, interpreter, code tester dan programmer. Saya mulai aktif di dunia kemahasiswaan, baik di dalam kampus maupun di luar kampus, termasuk ikut mengurusi Persatuan Pelajar Indonesia di Jepang sampai pernah terpilih jadi ketua umumnya. Knowledge dan skill di kampus terasah, experience dan manajemen keorganisasian juga terasah. Alhamdulillah saya mulai banyak punya teman Jepang, kadang makan bareng, main bareng atau ngoprek komputer bareng di asrama mereka. Untuk menambah ilmu kadigdayaan (sebenarnya sih untuk keperluan kerja part time 😉 ), saya menambah peliharaan komputer di apartemen dengan Apple Macintosh dan beberapa Unix machine.
Tahun pertama dan kedua terlewati dengan baik, nilai lumayan dengan nuansa penuh kegembiraan. Saya berusaha semaksimal mungkin “menjual” kemampuan saya, baik dalam bentuk jasa alias sebagai interpeter, lecturer, programmer, software engineer, maupun dalam kemasan produk software yang saya buat (sistem informasi rumah sakit, sistem informasi periklanan, web application, network management system, dsb). Alhamdulillah saya sudah bisa mandiri dan mendapat banyak pengalaman dan keuntungan finansial mulai tahun ketiga kehidupan saya di Jepang, sehingga akhirnya saya putuskan menikah “dini” supaya lebih tenang, aman dan sehat ;). Nah pada masa ini jenis saya adalah semakin sadar akan kemampuan saya :).
4. Mahasiswa Yang Tidak Sadar Akan Kemampuannya (Unconsciously Competence)
Saya banyak ngejar kredit di tahun 1 dan 2, dengan harapan bisa tobikyu (loncat tingkat), meskipun saya kemudian nggak minat lagi karena ternyata di Jepang kalau kita loncat langsung ke program Master (S2), ijazah S1 nggak diberikan oleh Universitas. Resiko besar kalau saya balik Indonesia tanpa ijazah S1, urusan birokrasi pemerintahan (PNS) akan merepotkan, apalagi kalau nanti nyalon jadi walikota semarang, bisa kena pasal ijazah palsu … hehehe. Akhirnya tingkat 3 kuliah banyak kosong (sudah terambil di tingkat sebelumnya). Part time juga saya lebih selektif, hanya di bidang garapan saya saja, yang bisa kerja remote dan lebih bebas waktunya. Tidak ada lagi tempat untuk kerja kasar nyuci piring atau angkat karung. Saya terpaksa ambil mata kuliah jurusan lain untuk menjaga ritme kampus. Meskipun kadang ditolak professor pengajar, karena saya ambil mata kuliah semacam combustion, teknologi pendidikan, sistem tata kota, dsb yang nggak ada hubungan dengan computer science. Akhirnya karena keasyikan ngambil kredit, nggak sadar kelebihan kredit. Total terambil 170 kredit, padahal syarat lulus S1 hanya 118 kredit :D.
Sehari hampir 18 jam di depan komputer, kecuali tidur sekitar 6 jam, tugas kampus juga saya kerjakan dengan baik. Akhirnya masuklah saya ke masa, “nggak ngerti lagi mau ngapain di Internet” :D. Saya mulai suka iseng dan banyak aktif di dunia underground dengan berbagai nama samaran. Saya kadang membuat program looping tanpa stop untuk mbangunin admin kampus, alias men-downkan server karena overload CPU dan memori. Kadang nge-brute force account teman untuk ambil passwordnya, sehingga bisa baca email-email cintanya ;). Sampai akhirnya saya pernah kena skorsing 3 bulan karena ngecrack account professor-professor di kampus. Nah di masa ini, saya berubah jenis sebagai mahasiswa yang nggak sadar bahwa punya kemampuan untuk berbuat negatif dan merusak kestabilan kampus :).
Di sisi lain, saya banyak mendapatkan knowledge di Universitas, formal language dan automata, software project management, software metrics, requirement engineering, dsb yang pada saat dapat kita mikirnya ini nanti dipakai dimana yah :). Tapi ternyata semua itu bekal yang cukup berguna ketika harus masuk ke dunia industri dan menggarap project-project yang lebih riil. Kondisi seperti ini juga termasuk dalam posisi yang tidak sadar akan kemampuannya 🙂
Bagaimanapun juga mahasiswa sebaiknya di arahkan untuk menjadi jenis ke-3, yang sadar akan kemampuannya dan menggunakan kemampuannya untuk hal-hal positif. Kalaupun ada mahasiswa yang dengan skillnya terjebak tindakan negatif, pembimbing ataupun dosen juga harus bijak mensikapi. Bagaimanapun juga ini semua adalah proses belajar dan proses pematangan diri. Sebagai tambahan, 4 hal diatas diformulasikan orang dan terkenal dengan nama teori Experiential Learning. Lalu anda termasuk yang mana? Silakan dijawab sendiri.
Yang paling penting, apapun jenis anda, jangan pernah menyerah dan tetap dalam perdjoeangan !
Pengalaman bapak hebat dan banyak sekali.. jadi iri nih.. salut
PertamaX
*baru kemudian baca*
Umumnya saat ini banyak mahasiswa yang tidak sadar akan kemampuannya. Banyak ditemui mahasiswa setelah lulus, berprofesi tidak sesuai dengan disiplin ilmu yang ia geluti waktu kuliah..
Kesimpulannya : sadar belakangan…. 🙂 🙂
kayaknya saya masuk dibeberapa tempat..hehehe
1 sama 4..hehehehe
# Roffi: Waduh aku masih perlu banyak belajar, masih belum banyak pengalaman
# Alex: Hehehe makanya jangan terlalu PD, ternyata ada yang lebih dulu komentar …kekekek
# fR3dDy: Bener mas. Kadang nggak ngerti kalau ilmunya high level dan bisa bikin sakti hehehe
# Arul: Saya yakin kehidupan kampus akan membuat proses belajar kita berjalan dari 1 sampai 4, meskipun kadang nggak urut 🙂
Jika membaca pengalaman om Romi rasanya kita diajak bertualang, menyelam kedalam belantara pengetahuan.
Artikel & posting blog ini selalu mengingatkan saya bahwa saya termasuk kategori nggak mampu tapi sok tahu, hehehe…
Kadang saya merasa terlambat baca2 artikel ini. Jika saya membacanya ditahun awal kuliah, mungkin saya bisa mempersingkat masa-2 yg saya lewati, caelah :-P.
Terima kasih buat artikel yg selalu memberikan inspirasi.
klo saya masuk ke kategori yg sadar bahwa tidak mampu dan pada saat yg sama jadinya saya tidak pernah tahu hingga sekarang sebenernya saya ini mampu apa yah?
hmm
wah seru juga cerita anda, tapi saya masuk yang mana yah?
sepertinya jaman dulu mahasiswa saya adalah mahasiswa yang biasa2 saja, tidak seaktif anda.
tadi siang aku baru ja mencerami beberapa mahasiswa informatika kurang lebihnya seperti artikel mas romi. Tapi memang benar mas romi, tetap kita jangan mudah menyerah dan tetap semangat.
Jangan jadikan kondisi ketidaknyamanan, ketidakmampuan ( secara finansial ), keterbatasan dan sifat negatif lain menjadi duri dalam perjalanan hidup kita.
OOT:
Seandainya saya bisa merasakan sampai S3 seperti mas romi, mungkin saya akan semakin tahu kemampuan dan ketidakmampuan saya.
tetap semangat memberikan wacana semangat mas Romi.
wahh,, saya kadang tau dengan kemampuan saya, namun pada masalah tertentu saya tidak tau bahwa saya mampu menyelesaikannya.
Golongan ke 5 : mahasiswa yang doyan makan-makan (apalagi kalau gratis).
Golongan ini bisa merupakan gabungan ke 4 golongan di atas.
Mahasiswa kita kadang lebih dari itu mas, tidak sadar akan jati dirinya …
TETAP BELAJAR
TETAP BERDOA
TETAP SEHAT
TETAP SEMANGAT
MAK YUUUUUUUUUUUUUUUUUUS
#IMW,
Biasanya yang begini aktif di kegiatan kampus dan suka ngendon di kampus, hehehe… Just kidding, bukan stereotip :-D.
BTW, Assisten Lab termasuk kategorinya IMW nggak ya, soalnya pas semua dengan yang disampaikan.
Eh, soal “doyan makan-makan” ini karena menuduh Om Romi “besar” karena banyak makan juga yaks 😛
artikel yang penuh inspirasi 🙂
waduh, setelah baca artikel ini saya masih bingung, di manakah saya? 😀
kayaknya masih harus belajar lagi deh…
-IT-
Saya udah tau waktu sma dulu mengenai artikel ini, saya dapat dari milis di LN, sepertinya ada di nomer 3, karena saya sangat suka komputer sejak kelas 4 sd saya sudah megang pc, lalu saya biarkan ilmu yang ngga saya sukai, terbukti dengan probabilitas terapan saya dapat nilai D, sementara sisanya A dan B semua…. kikiki
# Raffaell: Sudah tahu lama tentang artikel ini? Padahal baru saya tulis kemarin 🙂 Maksudnya teori Experiential Learning kali yang sudah lama tahu. Karena itu memang sudah lama diformulasikan orang. Kalau artikelku sendiri baru aku tulis kemarin mas …hehehe
# Vavai: hehehe, lha sekarang tingkat berapa sih om 🙂
# Feha: Saya yakin orang pasti punya kemampuan banyak, cuman mungkin belum sadar 🙂
# Andriansah: Aktif di tempat lain kali mas 🙂
# Eko: hehehe ok thanks mas
# Zulkarnain Arsi: Memang orang ditakdirkan Allah seperti itu om 🙂
# IMW: Pemakan aktif dong, lebih enak pemakan pasif alias tukang ditraktir
# EDR: Masuk tipe yang 4 kali yah
# Faber: Cocok mas 😉
# Ricky: Thanks …
wah,saya senang skali membaca pengalaman bapak;))
kalo saya termasuk yang mana yah,.. saya merasa mahasiswa yang
ga jago ketika kumpul dg tmn2 jurusan saya. tp sebaliknya ketika menghadapi dunia nyata,..apa yg saya bisa sedikit ini banyak yang membutuhkan dan akhirnya banyak yg mempercayakan saya,… yah proyek2 kecil…install2 gitu;)) bikin web… tapi banyak temen saya yg mnurut saya jago,..tapi mereka tidak memanfaatkan ilmunya gitu yah.. yah mksudnya kayak menawar2kan gitu… Nah saat itulah saya mmanfaatkan kerjasama dengan mereka,.. yah misalkan dalam programer.. dll..( yg sulit) secara saya terinspirasi oleh ‘BillGates’…
jadi Mahasiswa yang mana yah saya;))
yang jelas sukses deh buat pak Romy..
‘ADAM13’
http://ifos.wordpress.com
sayang bukan mahasiswa lagi…;)
wah menarik juga baca artikelnya, memang mas romi itu sumber inspirasi…hehehe…
kalau aku masuk kategori mana ya ? kuliah aja nggak selesai-selesai. sepertinya memang kurang kerja keras kayak mas romi, tapi kelebihanku adalah bisa kuliahin 2 adikku sampai selesai sarjana meskipun mengorbankan kuliahku sendiri…hiks..semoga yang kali ini bisa selesai….biar nggak malu ditanyain anak2ku nanti…
amin. tetap semangat…
sukses selalu untuk mas romi
@furqan: kayaknya 4 tipe itu gak cuma ada bangku kuliah (buat mahasiswa) aja deh.. gw rasa kadang sebagai apa pun kita, kita berada sebagai salah satu dari keempat tipe tersebut
@masRomi: Keren tulisannya… sebenarnya mungkin kita dah tahu akan 4 tipe orang (nggak cuma mahasiswa) seperti itu.. Tapi dengan dituliskan jadi bikin kita sadar “oh iya ya…”
Jadi inget kata-kata mas romi waktu ke kampus “ikatlah ilmu dengan menuliskannya”
# Furqon: hehehe sebenarnya teori Experiential Learning itu bukan hanya untuk mahasiswa, tapi untk seluruh proses pembelajaran.
# yadisyahid: Ya setiap orang punya potensi dan kemampuan. Mau berkorban untuk orang lain itu juga suatu kemampuan, nggak setiap orang mau melakukan itu. Tetap semangat. Asal fokus saja, satu sekolah diselesaikan dulu Yad 🙂
Wah coba aku nemuin bacaan bergizi tinggi kayak ini di awal2 kuliah dulu, mungkin sekarang aku dah jadi “orang” nih… 🙁
Yah… itung2 better late than never lah… 😀
Gila, hebat banget. Kayaknya di Medan gak ada deh, mahasiswa kayak gini. Salut buat om romi. 🙂
rasanya saya masuk yang nomor 3 mas.. soalnya kan belum sadar dengan kemampuan diri sendiri.. hehehe..
oh iya mas romi, kalo boleh nanya, sebaiknya mahasiswa computer science itu (seperti saya yang sudah ada di pertengahan jalan sarjana :)) harus mendalami satu topik yang dia anggap kompetensinya dari sekarang (belum lulus), atau biarkan mengikuti alur kuliah dulu hingga pemahaman computer science secara menyeluruh didapatkan pas lulus, baru mendalami satu topik?
terimakasih ya mas..
Bagi mahasiswa, di samping rajin belajar jangan lupa GAUL. Penting sekali untuk memupuk networking dan soft skill. Dan tentu saja agar bisa mendengar informasi terbaru acara makan-makan, sehingga bisa jadi Golongan V pasif alias ditraktir terus.
waah saya masih baru dalam tahap nomor dua tuuh. sory terus terang. saya kuliah di jakarta yg asalnya dari makassar . Karena saya mengambil TI juga di salah satu perguruan tinggi swasta, saya merasa udah bisalah gitu dengan menguasai sedikit dengan windows. namun setelah beberapa lama saya dikenalin linux saya jadi bengong sendiri dan baru tau ada SO selain windows. jadi sadar sendiri bahwa saya tidak ada apa-apanya. uuuh V_V.
akhir nya saya pun belajar sekarang untuk mendalami linux. trims atas tulisannya pak romi. saya bisa belajar lagi ttg hal2 yg baru.
Ada lagi tipe mahasiswa yang kuliah hanya sekedar punya status mahasiswa dan cuma utk mengejar titel dan ijazah Sarjana
Hem… menarik pengalamannya pak romi
keknya saya masuk golongan saya tahu kalo saya tidak mampu 🙂
masih kurang kerja keras soalnya
Waaah??? yg mana ya?? gak tau???
bingung mode: ON
artikelnya bener2 menusuk hati saya..
*mahasiswaygngerasahebatpadahalkagak*
# Me: Tidak ada kata terlambat untuk berdjoeang om 🙂
# Ahmad Simanjuntak: Hahaha di Medan banyak kok yang punya potensi. Saya bukan yang terbaik, dan masih lebih banyak lagi yang jauh lebih baik …
# ilm@an: Pertengahan kuliah, mungkin baru akan ke peminatan. Pilih peminatan sesuai dengan minat dan kecenderungan kita, terus matangkan dalam bentuk topik penelitian di tugas akhir. Core competence kita terbentuk ketika kita garap thesis (tugas akhir).
# IMW: Betul mbah, setuju. Petuah mbah Made memang selalu wajib di simak 🙂
# Ahmad Yani: Sip mas 🙂
# Ardiansyah: Kita akan mendapatkan sesuai dengan yang kita inginkan. Kalau pingin dapat ilmu, pasti dapatnya ilmu. Kalau hanya pingin dapat ijazah ya paling cuman dapat ijazah 🙂
# Camagenta: Selamat bekerja keras dan cerdas mas 🙂
# Rd Limosin: hehehe jadi puyeng yah 🙂
# aRdho: waduh, padahal merasa hebat itu keuntungan juga lho. Karena secara psikologi, positif theraphy kadang memang berhasil mendongkrak prestasi 🙂
Wah, lihat ada komentar soal kuliah apa eh kerjanya kok nggak nyambung sebagai contoh ketidaksadaran akan kemampuan saya kok jadi kurang setuju. Saya berlatar belakang IT, namun saya begitu lulus memilih menjadi seorang editor buku pelajaran. Yang jelas saya sendiri melihat banyaknya kesesuaian antara bidang ilmu saya dengan bidang editorial, tapi entah bila hanya dilihat secara saklek saja.
Tapi memang pada akhirnya saya keluar dari pekerjaan editor itu dan kembali jadi kuli IT rendahan (maklum, sekian tahun tidak memegang barang IT beneran), karena… gak kuat muatan politiknya boo, kasihan deh anak2 Indonesia di jenjang pendidikan wajib. Tapi kasihan kok ya bukannya membawa perbaikan malah keluar, jiwa pengecut kali ye
Wah, ternyata Pak Romi ada masa lalu yang bandel juga yach. Hehehe.
Biografi yang mengesankan sekaligus besifat memotivasi.
Hm, saya sendiri yach, termasuk yang mana yach?
Mungkin diantara/kombinasi 2 dan 3.
Lebih tepatnya saya sadar akan kemampuan dan ketidakmampuan di bidang tertentu. 🙂
Salam,
t”eddy” bear
manusia makhluk merdeka yang bebas memilih takdirnya, bener kn Om Romi? jadi, kita bebas memilih masuk ke dalam jenis yang mana… mungkin hari ini diriku masuk jenis ke 3, mungkin besok masuk jenis ke 2, lalu mungkin (lagi) masuk jenis ke 4, atau jenis ke 1. wahh,, manusia itu makhluk amat dinamis ya.. =)
tapi kadang yang menjadi masalah itu kita baru sadar kalau kita berada pada posisi di mana, ketika keadaan sudah begitu sulit ( bukan berarti tidak bisa ) untuk bisa diubah menjadi keadaan yang lebih baih
udah lama sy nunggu artikel, ehh romi_sw is back…dapet ilmu lagi…di awal kuliah saya menyadari kekurangan saya, boro-boro mau kuliah TI, komputer aja baru kenal…tapi dengan “soft skill” yang sy coba self-improved, alhamdulillah udah tahap demi tahap naik menjadi concious akan kemampuan…sy setuju banget sm mas rom…usaha belajar = perbanyak begadang untuk mencari tahu dan terus belajar…nah kalo udah gitu, tinggal ikutin alur aja…dan liat status note YM mas romi, apa ada artikel baru or gak..heheh
follow the direction of IT Expert…mmmhh hopefully..
oiya sama banyak mengingat dengan yang di atas, yang bersemayam di atas arasy tertinggi ALLAH SWT..
# IMW : setuju buanget, soft skill memang penting abisss..
eh mas, kalo udh kerja, gimana ya cara mudah kita mengukur kita berada di tahap mana?, kan klo di tpt kerja udah bikin proyek2 yg lbh spesifik gitu deh…
mas romi, makasih yah atas bantuannya selama ini, Alhamdulillah jadi juga website saya, kalo saya mungkin termasuk gol. 2, saya masih banyak belajar mas, karena saya baru 1 tahun di ilmu komputer 😛
# Dimas: Dimanapun tempat kerja, yang paling penting kreatifitas dan kerja keras mas 🙂
# Eddy: Ok thanks mas 🙂
# Zulkarnaen: Kadang bukan pilihan, tapi itu adalah proses pembelajaran 🙂
# Addthe: Karena itu kita diskusi dan pelajari bareng tanda tandanya mas. Supaya bisa untuk bahan instrospeksi diri.
# Mr.K: Asal begadangnya bukan untuk main game atau main yang lain …heheh
# Toni: Sip. Tetap sabar dan dalam perdjoeangan mas 🙂
baca yang ini saya malah inget sama Ibu dosen sayah,
beliau ngajarin automata.
Beliau keknya masuk ke kategori 1,
1. Dosen Yang Tidak Sadar Akan Ketidakmampuannya (Unconsciously Incompetent)
Kesan pertama sama beliau, 10 x 10 = cape dee… :-p
hari itu kuliah pertama beliau, saya sama temen2 cukup terheran2 sama nama mata kuliahnya (maklum katrok) “Teori bahasa dan automata”
dateng ke kelas dia langsung perkenalan nerangin teorinya yang kita2 sama sekali nggak ngeh.
terus karena penasaran kita tuh nyeletuk nanya,
“bu dosen, klo automata itu apaan sih, dan dipake buat apaan?”
lalu bu dosen termenung sebentar, tiba2 ngomong
“hmm gini aja yah, itu pertanyaan dijadikan tugas kalian saja untuk minggu depan” trus dia ngeloyor pergi
minggu depannya, kirain mau dibahas, eh ternyata dia cuma ngasih catetan suru fotocopy dan jelasin yang lagi2 kira nggak ngerti, sebenernya ini teh buat apa sih…
akhirnya satu semester berlalu dan saya lumayan dapet B,
karena masih nggak ngerti juga sama itu mata kuliah saya ambil lagi, berharap dosennya budan ibu yang waktu itu.
tapi ternyata sama hiks… akhirnya males dateng ke kuliahnya
saya dapet E Gubrakz….
ampe skr saya nggak ngerti buat apa automata,
saya cuma pernah baca dikit2 di teknik kompilasi
pak romi bisa jelasin sedikit pls.
Salam
wah ternyata blognya udah aktif lagi, syukur deh
Aku termasuk yang mana ya???
Pokoknya termasuk pernah jadi mahasiswa gitu aja 😀
Salam kenal Mas Romi.
Tulisan-tulisannya sangat inspiratif.
Tapi sepertinya kayak Mas Romi ini menjadi “matang” karena telah melalui ke 4 jenis mahasiswa diatas ya?
Tapi saya yakin seseorang / mahasiswa “tipe pembelajar” disaat terperangkap di tipe 1 (tidak sadar akan ketidakmampuannya) selalu akan melakukan evaluasi diri, apa yang sudah didapat selama ini, dengan cara belajar sekarang. Jika tidak puas, akhirnya dia cari cara belajar lain sampai ketemu jenis yang tepat. Tetapi sepertinya selalu ada point yang didapat dari setiap jenis yang pernah dilewati yakni pengalaman.
Jika diharapkan mahasiswa diarahkan ke jenis no 3……
Kita tidak selalu menyadari bahwa kita sudah berada pada “track” yang tepat? Haruskan pengalaman yang terlebih dahulu membuat kita sampai pada jenis ke 3?
Salam
hehehe..kayaknya aq masih di jenis yg 1 n 2, padahal dah ga jadi mahasiswi lagi.
Salut buat mas romi…
pengin sich bisa ngembangin diri, tp ya itu bingung mo dimulai dr mana..penginya semua dipelajarin…weee
Wah, membaca tulisan ini dan melihat kerja keras abang memang sangat inspiratif. Oversubscribe kredit, kerja bermacam2 part time, aktif berorganisasi, belajar bahasa Jepang, mengutak-atik komputer, dan tidur hanya 6 jam sehari… semuanya dilakukan pada saat yang bersamaan. Benar2 salut dengan anda… semoga saya juga bisa mengikuti pola kerja keras abang :).
Assalamu’alaikum…mas Romi.
Wahh…proses petualangan yang luar biasa, jadi iri saya. 10 taon di negara sakura. dengan berbagai pengalaman menarik, sampai ngebobol adminnya profesor…wuihh. Cerdas dan Kreatif banget tuh.
Kalo saya berada dalam posisi 2 dan 3. kalo urusan kuliah kayaknya tdk terlalu kerepotan, tapi masalah future, prospektif, kayaknya masih butuh banyak belajar, hehehe…
Mas romi, saya mahasiswa Elektro di Surabaya, kasih tips donk untuk networking dgn orang2 engineer, komunitas yg sesuai dgn core competence saya. Coz link saya masih terbatas…
Thanks.
wah dulu aye masuk kategori mana ya? hihi
Ada juga mahasiswa yang sadar akan ketidakmampuannya (Consciously Incompetent), tapi dia sadar bahwa dia punya kemampuan untuk menutupi (bukan memperbaiki) ketidakmampuannya itunya (Consciously Competence), sehingga sebenarnya mahasiswa ini tidak sadar bahwa kemampuannya (Unconsciously Competence) yang merusak itu menunjukkan bahwa dia tidak sadar akan ketidakmampuannya (Unconsciously Incompetent).
Nah, yang ini kategori baru ya Pak Romi?