Kado Ultah LIPI dari Jusuf Kalla di Harteknas 2006
LIPI lebih terkenal dengan pandangan politik dan kritiknya terhadap pemerintah, daripada hasil penelitiannya. LIPI lebih tepat disebut Lembaga Ilmu Politik Indonesia. Itu mungkin kado spesial Jusuf Kalla (JK) untuk LIPI di peringatan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Harteknas) ke-11 di Istana Wapres, Jakarta, 10 Agustus 2006. Saya yakin kritikan JK ini akan menimbulkan sedikit prokontra di internal LIPI. Tapi bisa juga pendapat saya meleset, karena ternyata tidak terjadi prokontra, alias LIPI sudah terlalu terbiasa dengan kritikan semacam ini? 😉 Saya sendiri menganggap kritikan ini positif dan harus direnungkan bersama, khususnya untuk para peneliti LIPI yang sedang merayakan ulang tahun LIPI ke-39, dan juga secara umum untuk para peneliti di Indonesia.
LIPI yang lahir 39 tahun lalu, dengan diawali lahirnya MIPI, memiliki misi dan cita-cita luhur untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang berakar di Indonesia agar dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat (Kepres No 128 Tahun 1967). Menarik bahwa ternyata kado ulang tahun yang diberikan JK kepada LIPI adalah mempertanyakan kembali bagaimana LIPI berperan di pemanfaatan iptek untuk masyarakat sesuai dengan fungsi pendirian LIPI di tahun 1967.
Kalau mau secara komprehensif mengamati semua hasil penelitian LIPI, sebenarnya peneliti LIPI dari berbagai kedeputian sudah cukup produktif menghasilkan berbagai hasil penelitian, baik dari penelitian dasar maupun penelitian terapan. Secara kualitas sumber daya manusia (SDM), saya pikir tidak perlu dipertanyakan lagi. Kita bisa temukan berbagai produk LIPI seperti mobil marlip, wc ramah lingkungan, kecap bebas kanker, alat pelacak pencemar, dsb. Lalu mengapa kok hasil penelitian dari para peneliti LIPI ini seperti mampet, seperti selesai di publikasi dan tidak berlanjut ke tahapan yang lebih tinggi (sosialisasi, politisasi, produksi, penelitian lanjut, kerjasama industri, dsb)?
Saya melihat ada beberapa permasalahan dalam dunia penelitian kita yang harus diperbaiki, baik dari segi penelitinya sendiri maupun sistem dan struktur organisasi. Tentu ini pendapat pribadi dan masih diperlukan pengujian lebih lanjut 😉
-
Saat ini peneliti LIPI yang terdengar suaranya hanyalah peneliti-peneliti dari Kedeputian IPSK (Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan), ada nama-nama besar seperti Ikrar Nusa Bakti, Syamsuddin Haris, Dewi Fortuna Anwar, dsb. Terlepas dari bidang IPSK sendiri yang memang sangat dekat berhubungan dengan masyarakat, saya pikir peneliti LIPI lain perlu belajar dari teman-teman IPSK bagaimana membumikan teori, teknologi dan terminologi yang rumit ke dalam bahasa yang mudah dipahami masyarakat. Mari kita latih kemampuan verbal, berbicara secara terstruktur, ringan, mudah dipahami, dan tetap tidak kehilangan kualitas isi di depan publik.
-
Disamping menerbitkan tulisan ilmiah dalam jurnal-jurnal ilmiah, peneliti LIPI perlu memperbanyak menulis tulisan populer dan opini berhubungan dengan penelitian dan temuan pada bidang garapan masing-masing. Masyarakat awam tidak membaca jurnal ilmiah, yang mereka baca adalah koran, majalah, buletin yang ada di sekitar mereka. Kita perlu bidik ini untuk sosialisasi hasil penelitian kita tentu dengan bahasa yang mudah dipahami masyarakat.
-
Peneliti LIPI perlu lebih tajam menganalisa kebutuhan riil masyarakat dan mengarahkan penelitiannya ke produk yang bisa dinikmati masyarakat secara cepat. Tapi jujur saja, ini memang suatu dilema bagi para peneliti di Indonesia, di satu sisi pemberi dana dan reviewer kegiatan penelitian kadang berharap bahwa tema penelitian harus lebih advanced dan bisa menembus jurnal internasional. Disisi lain, kebutuhan riil di Indonesia cenderung ke tema penelitian yang lebih membumi, applied dan harus siap terap.
-
Selain mempromosikan hasil penelitian secara pribadi lewat poin 1 dan 2, perlu ada dukungan secara sistemik oleh institusi. Secara institusi, LIPI tidak memiliki business development manager handal yang bisa membungkus dan menawarkan hasil penelitian supaya bisa dinikmati masyarakat. Tentu harapan satu-satunya ada di Kedeputian Bidang Jasa Ilmiah, khususnya Pusat Inovasi (Pusinov) yang memang dibentuk untuk mengemban tugas sebagai lini bisnis LIPI 😉 Permasalahannya adalah lini bisnis ini belum tersosialisi secara baik ke para fungsional peneliti.
-
LIPI dan dunia penelitian secara umum di Indonesia belum tersambung secara baik ke dunia industri. Inilah mimpi besar pak Kusmayanto Kadiman dengan konsep ABG (academics, businessmen and government). Permasalahan ini sebenarnya adalah kesalahan kolektif. Seperti kita ketahui bersama industri di Indonesia sebagian besar tidak memiliki unit kajian atau penelitian produk. Tentu ada juga industri besar di Indonesia seperti PT Unilever yang bergerak di penelitian sampai memperhatikan juga masalah paten terhadap produk yang dihasilkan. Industri di Indonesia rata-rata termanjakan oleh tidak terlalu meleknya konsumen Indonesia terhadap kualitas produk. Dari sini budaya penelitian menjadi tidak populer. Jadi kloplah, peneliti tidak menentukan tema penelitian berdasar analisa kebutuhan yang matang, industri tidak ada budaya penelitian, dan dukungan pemerintah terhadap dunia penelitian juga minim (dana, peraturan, dsb).
-
Permasalahan lain, dan saya beri urutan terakhir masalah ini adalah masalah dana. Banyak negara-negara tetap bisa bangkit dalam penelitiannya meskipun dengan dana terbatas. Tapi ok, kita lihat dulu :) Anggaran untuk lembaga riset dan teknologi di republik ini pada tahun 2007 masih akan menyedihkan dengan total sementara RAPBN 2007 hanya Rp 2,12 triliun. Angka Rp 2,12 triliun itu akan dibagi ke tujuh LPND, yaitu Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakorsurtanal), Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten), Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Standarisasi Nasional (BSN), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Sebagai catatan, total dana RAPBN 2007 adalah Rp 693 triliun, sehingga prosentase dana untuk penelitian di Indonesia hanya 0,3%.  Hmm menyedihkan tentu saja, kadang kita harus memikirkan juga bagaimana beban peneliti di Indonesia yang dituntut melakukan penelitian yang hebat dengan dana terbatas. Well, bagaimanapun juga dana tidak penting, tapi pokok, kata orang bijak 🙂
Hummm … jadi panjang ;)Â Untuk sementara saya pikir cukup enam poin diatas dulu. Saya tunggu komentar, pesan dan tambahan dari rekan-rekan semua, untuk semakin mematangkan diskusi ini. Terima kasih dan mudah-mudahan para peneliti LIPI masih tetap dalam perdjoeangan. Amiin.
wah masih kalah ama RAPBN dari negara tetangga kita Republik BBM
Wah, nyasar (dari google), tapi nyasar di tempat yang benar. 🙂
Ikut komen yah Pak.
1. Nama2 yang disebutkan juga saya belum pernah dengar. Jadi tokoh2 LIPI memang (mungkin) belum banyak terdengar di masyarakat. Apalagi untuk masyarakat yang Kuper seperti saya.
2. Bagus juga, media blog juga bisa menjadi alternatif yg bagus. Dengan gaya bahasa langsung dari penulisnya akan mudah di cerna
3. Saya lebih setuju dengan point kedua. Lebih merakyat.
4,5. Ga bisa komentar.
6. Minta saja sama Pak JK.
Oia..jangan lupa penelitian Biofuel tuh kan sangat bermanfaat sekali, memanfaatkan minyak kelapa sawit, hebat! tetapi kenapa juga tidak dikembangkan teknologi Hibrida aja, saya yakin teknologi air itu tidak akan ada habisnya, sedangkan minyak kelapa sawit itukan lama kelamaan akan habis juga! intinya dukung untuk teknologi bebas polusi !!
Jika mau berpikir positif, apa yang disampaikan oleh Pak JK sebenarnya bagus sebagai media introspeksi LIPI.
Saya kira, kalau kita bicara soal keterbatasan (dana, fasilitas, kemauan politik) dll akan sambung menyambung menjadi satu itulah Indonesia :-). Jika LIPI bisa menyiasatinya (setahu saya KOMPAS dan beberapa media besar cukup concern pada keunggulan dan kwalitas kemampuan bangsa Indonesia), banyak jalan yang bisa dicoba agar LIPI bisa benar-benar menjadi pendorong kemajuan bangsa.
Bicara terlalu muluk salah, tidak bicara salah. Bermimpi salah, tidak bermimpi salah, memang demikian sulitnya di Indonesia, namun saya yakin, kalau komitmen kita kuat pada kemajuan bangsa, kita dapat berusaha dengan cara masing-masing. Jika dana terbatas, ya mari kita cari cara supaya dana berlimpah. Waktu menjadi panitia OSPEK atau acara kesenian di sekolah / kampus saja kita mmapu, masya untuk skala penelitian yang ada nilai bisnisnya kita tidak mampu. Kalau industri belum mampu diyakinkan, mari kita dorong media untuk mempopulerkannya.
Apa yang bisa kita lakukan, lakukan sekarang, seperti kata Aa Gym itu lho…
Mas Rivai, saya setuju sekali yang anda sampaikan 🙂 Justru artikel ini saya harap bisa jadi introspeksi bersama civitas akademika LIPI, tentu termasuk saya didalamnya. Memikirkan penelitian yang berorientasi untuk rakyat (science for people) daripada science for science.
Thanks juga untuk mas Tyo dan mas Izoel. Biofuel juga termasuk produk penelitian yang menarik (dikerjakan teman-teman di BPPT), sayangnya memang belum mass product.
Assalamualaikum Wr Wb
Ikut urun rembug, saya mencoba konsen di point no 5, memang kondisi sekarang tuh zamanya interdisiplin, tidak bisa solo karir, sehebat apapun hasil penelitian tidak bisa dirasakan ketika tidak ada ahli marketing yang memasarkan, tidak ada dukungan regulasi pemerintah, tidak ada pasar yang mendukung dan…komponen-kompoen lainnya yang saling terkait. LIPI Bandung, sudah berhasil menciptakan robot penjinak bom yang kualitasnya tidak kalah hebat dari buatan luar (Israel), dengan harga yang lebih murah. Bagusnya hal ini direspon oleh berbagai unit yang berkepentingan supaya hasil karya hebat ini tidak mati suri. Mimpinya sih, Hankam segera mengucurkan dana untuk mengembangkan robot ini, bikin hak patentnya, bikin eksebisi, kasih merek, masukan ke buletin persenjataan internasional (mumpung skrg isu bom./teroris masih hangat), promosi ke negara tetangga, bikin juga kreasi robot-robot lain yang lebih entertaint (ingat ASIMO-nya Honda) sepertinya teman-teman ITS pada jago deh urusan robot-robot ini, jadikan maskot, bikin marchandise…wah masih banyak lagi…dan ini semua memerlukan berbagai disiplin, berbagai bidang yang satu visi, satu misi, satu tujuan yakni berdjoeang untuk harga diri bangsa bahwa kita juga mampu….he.he..btw saya skrg dah ngapain yah
Ops, persentasenya salah, mas.
2,12T/693T x 100%= 0,305%.
Jadi yang BETUL, anggaran R&D 2007 adalah 0,3% APBN, bukan 0,003%. Juahuh sekali lho bedanya. 🙂
Bener njenengan mas, aku salah ngitung. Sudah aku perbaiki. Thanks 😉
🙁 tapi mendengar LIPI (Lembaga Ilmu politik Indonesia ) duch kok bisa dibilang gitu, yang jelas benar atu tidaknya memang itu harus kita kembalikan lagi pada LIPI, pokonya LIPI harus tetap pada jalur Penelitian, meskipun Wapres kita nyeleneh bilang kayak gitu 🙂 Opsss….. maaf pa JK 🙂
Insya Allah dalam perdjoeangan untuk tetap menjadi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Ada lagi yang bilang Lembaga Ilmu Perdukunan Indonesia …hehehe, kalau ini si IMW yang suka bilang 🙂 Meskipun kalau bikin research proposal emang peneliti kadang dipaksa harus jadi dukun 😉
Selamat ulang tahun untuk LIPI (walaupun agak telat) … komentar saya cuma satu … semoga bisa berkiprah lebih banyak lagi untuk kemajuan masyarakat …
Masih ingat dalam ingatan, saya sempat 2 minggu dikarantina di LIPI dalam rangka LKIR (tahun 1987), dan tahun 1988 ngelamar STAID ke LIPI tapi kagak lulus … ha ha ha … kalah pintar dibandingkan Mas Romi …
Halo Boss Romi … sudah lama nggak ketemu …
Regards
Riri
Thanks mas Riri. Waduh, saya sebenarnya cuman untung saja mas. Untung panitia nggak lihat raport saya yang banyak 6-nya …hehehe. Senang ketemu mas Riri lagi, mudah-mudahan tetap semangat seperti biasanya 🙂
konon Pak, ada satu hal pokok yg menjadi barier utama kenapa produk teknologi kita ndak diterima dunia industri. Para peneliti kita lebih tertarik untuk menyempurnakan hasil penelitiannya (misal tentang enzim–> lebih tahan asam lah, tahan perubahan suhu, de es be). PADAHAL peningkatan kualitas seringkali sejajar dengan peningkatan biaya produksi. Nah ini yg sering bikin gag klop. Rupanya, mereka-mereka yg di dunia bisnis lebih senang memilih produk teknologi yg gak perfect2 amat, yg penting antara BIAYA dan KEUNTUNGAN bisa masuk akal. INI yang kadang gak terpikirkan oleh para peneliti kita.
(Hehehe. maaf nih Pak. Ni hanya pernyataan sotoy mahasiswa tingkat akhir aja. ^0^V)