Bagaimana Mahasiswa Ilmu Komputer Belajar: Mengkritisi Kurikulum dan Gaya Pendidikan Kita
Sepulang dari study di Jepang tahun 2004, saya banyak mengajar di beberapa Universitas di Jakarta, terutama di fakultas atau jurusan yang berhubungan dengan ilmu komputer dan teknik informatika. Saya mengajar mata kuliah yang memang saya kuasai, dan terkait langsung dengan tema penelitian saya. Diantaranya adalah mata kuliah Software Engineering (Rekayasa Perangkat Lunak), Algoritma dan Bahasa Pemrograman (Algorithm and Programming Language), dan Basis Data (Database). Kebanyakan mata kuliah tersebut diajarkan setelah semester 5 (tingkat 3 atau 4). Dalam interaksi belajar mengajar di kelas, saya menemukan beberapa fenomena menarik berhubungan pengetahuan mahasiswa dan kurikulum yang diajarkan di universitas.
Saya menemukan tipe mahasiswa yang ketika saya terangkan dia kesulitan menangkap beberapa konsep yang seharusnya sudah dia dapat di semester sebelumnya. Katanya, itu tidak diajarkan di universitas tersebut. Fenomena ini terjadi dalam universitas yang memotong (mengubah) beberapa kurikulum yang seharusnya diajarkan, karena tidak ada SDM pengajar (dosen). Di lain pihak, saya menemukan fenomena lain dimana mahasiswa mengatakan bahwa dia mengenal beberapa konsep yang saya singgung, hanya dia lupa mata kuliah yang mengajarkannya. Fenomena ini terjadi di universitas yang mencekoki mahasiswanya dengan mata kuliah berlebih, dengan argumentasi bahwa supaya mahasiswa mendapat pengetahuan secara lengkap. Sering dosen mengajar bukan pada bidang yang dikuasai, hal itu terpaksa dilakukan oleh universitas untuk mengejar mata kuliah yang harus jalan. Dua-duanya ternyata membuat mahasiswa jadi linglung, yang satu linglung karena memang tidak pernah diajarkan, dan yang lain linglung karena terlalu banyak yang diajarkan. Intinya sih kedua-duanya sama-sama nggak ngerti 😉 .
Fenomena aneh lain tentunya masih banyak, misalnya mahasiswa tingkat 3 jurusan teknik informatika (atau ilmu komputer) yang tidak kenal siapa Dennis Ritchie 😉 , tidak bisa membuat program meskipun hanya untuk sebuah fungsi untuk memunculkan Hello World (apalagi mengkompilenya), tidak paham tentang paradigma pemrograman, juga tidak paham apa itu kompiler, shell, pointer, fungsi, array, dan tentu semakin mual-mual kalau saya sebut algoritma atau struktur data 🙁 .
Bagaimana seorang mahasiswa Ilmu Komputer belajar? Saya mencoba memberi gambaran umum dengan mengambil studi kasus bagaimana jurusan ilmu komputer di Saitama University mengatur kurikulumnya. Saitama University bukan termasuk universitas yang terbaik untuk ilmu komputer, umurnya masih sangat muda dengan SDM pengajar (professor) yang juga terbatas, bahkan beberapa professor diambil dari jurusan elektro untuk beberapa mata kuliah tertentu. Ini tidak mengurangi keseriusan universitas untuk menyajikan pendidikan dan kurikulum terbaik untuk mahasiswa-mahasiswanya.
Saya mulai program undergraduate (S1) di Department of Information and Computer Sciences, Saitama Univesity tahun 1995. Tingkat I (semester 1 dan 2), mata kuliah dasar (kiso kamoku) sangat dominan. Kalkulus, statistik, probabilitas, fisika dasar, kimia dasar, discrete mathematics, dan mata kuliah dasar lain banyak diajarkan. Semester 2 sudah ada beberapa mata kuliah jurusan (senmon kamoku) yang diajarkan, diantaranya adalah bahasa pemrograman, bahasa C (prosedural), HTML, dengan praktek lab untuk mengenal Unix, shell, text editor (emacs), laTeX (TeX), gnuplot, kompiler, teknik typing 10 jari, dsb. Pada saat masuk tingkat II (semester 3), saya menyadari bahwa mata kuliah tingkat I membekali saya dengan beberapa tool dan konsep dasar, sehingga saya bisa survive mengikuti proses belajar mengajar di tingkat selanjutnya. Lab komputer hanya berisi Unix terminal. Seluruh laporan dan tugas harus ditulis dengan laTeX dengan text editor emacs, apabila memerlukan bahasa pemrograman harus dibuat dalam bahasa C dan dikompilasi dengan GCC. Apabila ada data yang harus ditampilkan dalam bentuk grafik, bisa menggunakan Gnuplot. Setiap mahasiswa harus mempunyai situs web (homepage), dimana selain berisi aktifitas pribadi, juga berisi seluruh laporan dan tugas yang dikerjakan. Selain lewat situs web, laporan harus dikirim dengan menggunakan email ke professor pengajar, dalam format PS atau PDF dengan source dari laTeX.
Yang menarik, bahwa gaya pendidikan yang ditempuh menganut konsep korelasi, berhubungan, saling mendukung dan terarah dari semester 1 sampai akhir. Skill terhadap komputer dan bahasa pemrograman juga cukup dalam, karena ada kewajiban menguasai bahasa C, HTML, Unix, Linux, Shell, dsb yang bukan untuk ritualitas mata kuliah semata, tapi untuk bekal sang mahasiswa supaya bisa survive di jenjang semester berikutnya. Apakah tidak diajarkan paradigma dan bahasa pemrograman lain? jawabannya adalah diajarkan, tetapi untuk konsumsi mahasiswa tingkat 3 (semester 5 dan 6). Pemrograman berorientasi objek (Java), functional programming (LISP dan Scheme), dan Prolog diajarkan pada semester 5 dan 6 untuk membidik supaya sang murid “nyantol” ketika mengikuti mata kuliah Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence) dan Rekayasa Perangkat Lunak (Software Engineering). Dan dengan sebelumnya menguasai bahasa prosedural seperti C, kita semakin “ngeh” tentang pentingnya paradigma berorientasi objek ketika mendalami mata kuliah tentang pemrograman berorientasi objek.
Korelasi mata kuliah ini nampak juga dari deretan gaya pengajaran, setelah mahir berbahasa C, kita diminta ngoprek Minix yang terbuat dari bahasa CÂ (sistem operasi buatan Andrew S. Tanenbaum, yang menginspirasi Linus Torvald membuat Linux) pada mata kuliah Operating System (Sistem Operasi), membuat sendiri shell (dengan fungsi yang mendekati bash dan cshell) diatas sistem operasi yang sudah kita oprek, dan diminta mendesain dan mengembangkan bahasa pemrograman sendiri di mata kuliah Compiler Engineering (teknik kompilasi). Berurutan, berhubungan, tetap fokus dan mendalam, itu mungkin resep desain kurikulum yang diajarkan.
Pada saat tingkat 2 dan 3 itulah sang mahasiswa diarahkan untuk menuju arah kompetensi sesuai dengan yang diinginkan. Dan yang pasti, hampir seluruh mahasiswa mendapatkan “bekal” dan “skill” yang relatif sepadan untuk bergerak. Mahasiswa yang ingin melanjutkan karier menjadi seorang Programmer, disiapkan mata kuliah Struktur Data, Algorithm, Programming Language, Compiler Engineering, Automaton dan Formal Language. Yang ingin jadi Software Engineer, harus fokus mengikuti mata kuliah Software Engineering, Industrial Software Engineering, System Development Engineering, Software Project Management, dsb. Yang ingin berkarier di perusahaan animasi dan grafis, harus serius mengikuti mata kuliah Computer Graphics, Image Processing, CAD Enginering, Pattern Recognition, dsb. Yang siap bergelut di perusahaan Telekomunikasi, harus melahap mata kuliah Information Theory, Communication System, Signal Processing, Speech Processing, dsb. Yang ingin ke arah Hardware, harus menguasai mata kuliah Electronic Circuits, Electronic Devices, Computer Architecture, Quantum Mechanics, Logic Circuits, dsb. Bagaimana dengan yang tertarik dengan Kecerdasan Buatan? harus mau berpusing-pusing ria di mata kuliah Artificial Intelligence, Expert System, Knowledge Engineering, Neural Network, dsb.
Rencana pengembangan karier ini semakin matang dan tertata ketika masuk ke tingkat 4, seluruh mahasiswa harus menjalani 1 tahun terakhir di grup penelitian yang dipimpin oleh seorang professor. Penelitian dan thesis (tugas akhir) sifatnya wajib dilakukan, untuk memperdalam dan memahami implementasi riil dari bidang ilmu peminatan yang direncanakan dan dicita-citakan sang mahasiswa. Apa itu bidang ilmu peminatan? Ya bidang yang sudah saya sebut diatas tadi. Programming, Software Engineering, Communication System, Computer Graphics, Artificial Intelligence, Computer Hardware, Networking, dsb. Masing-masing professor dengan grup penelitian biasanya fokus di satu atau dua bidang ilmu peminatan, termasuk didalamnya penelitian yang dilakukan dan mata kuliah yang diajar. Tidak ada seorang professor Software Engineering yang mendapat jatah mengajar mata kuliah Computer Graphics, karena memang bukan bidangnya. Kalaupun bisa memberikan, tentu tidak menguasai the root problem (akar permasalahan) yang ada di bidang tersebut, ini yang membuat mata kuliah jadi hambar, tidak mendalam dan mahasiswa jadi bingung memahami apa hakekat dari mata kuliah tersebut.
Jadi masing-masing mata kuliah ada arah, ada desain yang ingin dicapai, dan ini yang dijelaskan di awal perkuliahan. Tidak ada kegiatan OSPEK yang berisi penyiksaan dan penghinaan, tidak ada hura-hura pesta masuk perguruan tinggi, yang ada adalah penjelasan tentang kurikulum secara komprehensif. Sang mahasiswa ingin menjadi apa, tertarik di bidang apa, itu yang dibidik dan diarahkan oleh universitas dengan penjelasan desain kurikulum beserta dengan mata kuliah apa yang sebaiknya diambil oleh sang mahasiswa. Jumlah kredit untuk syarat kelulusan S1 juga tidak sepadat Indonesia, hanya sekitar 118, sudah termasuk didalamnya penelitian dan tugas akhir yang dihitung sekitar 10-12 kredit. Jadi total kredit dari mata kuliah hanya sekitar 106. Kelonggaran waktu yang ada dapat kita gunakan untuk kerja parttime di perusahaan-perusahaan IT, mengasah kemampuan jadi programmer, network engineer, admin, software designer, dsb. Mahasiswa mendapatkan konsep di kelas, dan mematangkan diri di lapangan, tempat kita menggarap project maupun tempat kerja. Itu adalah strategi penting dalam mengkader para computer scientist.Â
Universitas di Indonesia yang membuka fakultas/jurusan Ilmu Komputer dan Teknik Informatika harus berbenah. Tidak hanya berambisi mengejar jumlah murid karena konsep aji mumpung (mumpung TI sedang booming, terima mahasiswa sebanyak banyaknya 🙁 ), tapi juga harus bertanggungjawab terhadap figur dan karakter hasil didikan dan lulusan universitasnya. Untuk para calon mahasiswa, pilihlah Universitas yang memiliki kurikulum dan dosen pengajar yang baik. Jangan memilih jurusan karena trend, ikut-ikutan teman, atau alasan tidak logis lainnya. Pilihlah karena memang kita berminat untuk berkarier di bidang tersebut.
Itulah Indonesia…
Indonesia tanah airku..
Aku berjanji padamu.. (maaf tidak diteruskan..) takut kebanyakan janji..
Benar tuh pak, sistem pendidikan di Indonesia itu pengennya dapat banyak dalam waktu singkat.. Saya tu kasian ma diri saya sendiri yang telah jadi korban sistem pendidikan itu sendiri, trus ma siswa-siswa sekarang dari SD hingga Perguruan TInggi..
Kita sekolah hanya untuk hal yang sia-sia..
Bayangkan di SMA dulu diajarkan ekonomi di kelas 1 dan 2 trus kelas 3nya masuk IPA trus gimane hayo?
Apa kata dunia?
Pak Romi saya mau tanya, bapak tau ngak cara buat kayak keygen di suatu program aplikasi kayak progran java
Tulisan pak romi ini setidaknya memberikan sedikit jawaban. Mengapa sebagai lulusan IT, saya sempat bingung mau bekerja di sektor mana (software engi, programmer, atau…), teman 1 jurusan pun sekarang banyak yg bekerja bukan di bidang IT.
karena Indonesia tercinta ini msh menganut kuantitas, bukan kualitas :(..
mengingatkan saya kepada almamater yang sudah bubar…
idealisme yang terpaksa mengalah kepada keadaan pasar…
terima kasih kepada para dosen ITB yang sudah berjuang dalam menegakan idealimenya di Sekolah Tinggi Teknologi Indonesia Bandung…
(Dikutip dari: materi Strategic Forum QPlus Management Strategies 2008)
Strategi Filsafat Penelitian Milenium III
(Butanya Dasar Belajar Mengajar: Theory of Everything)
Oleh: Qinimain Zain
FEELING IS BELIEVING. MEREKA (para peneliti QZ) seakan-akan pelukis yang mengumpulkan tangan, kaki, kepala dan anggota-anggota lain bagi lukisannya dari macam-macam model. Masing-masing bagian dilukis dengan sangat bagus, tetapi tidak dihubungkan dengan satu tubuh sendiri, dan karena sama sekali tidak akan cocok satu sama lain, hasilnya akan lebih merupakan monster daripada manusia (Nicolas Copernicus).
APAKAH (ilmu) pengetahuan yang terkumpul, dipelajari, dimiliki dan diajarkan selama ini masih berupa monster? Bayangkan sosok gambaran seluruh (ilmu) pengetahuan semesta yang berserakan. Lebih kecil lagi, seluruhnya di satu pustaka. Lebih kecil lagi, di satu cabang ilmu. Lebih kecil lagi, di satu bidang ilmu. Lebih kecil lagi, satu hal sosok gambaran tentang semut, puisi, manajemen atau jembatan saja, terdiri atas potongan kacau banyak sekali. Potongan-potongan tulisan sangat bagus sampai buruk, jelas sampai kabur, dan benar sampai salah besar, yang tak menyatu, tumpang tindih dan bahkan saling bertentangan meski hal yang sama sekalipun. Ini membuat sulit siapa pun meneliti, belajar dan mengajarkan, ditandai dengan polemik panjang.
Mengapa bisa demikian? Ada analogi menarik cerita lima orang buta ingin mengetahui tentang seekor gajah, yang belum pernah tahu gambaran binatang itu. Selain buta, tubuh mereka berbeda-beda tinggi badannya. Mereka pun berbaris berjajar, menghadap seekor gajah besar yang di keluarkan pemiliknya dari kandang. Orang yang pertama agak tinggi badannya, maju meraba bagian depan memegang belalai dan mengatakan gajah itu seperti ular. Yang kedua sedang badannya, meraba mendapati bagian kaki dan mengatakan gajah seperti pohon kelapa. Yang ketiga tinggi badannya, memegang bagian kuping dan mengatakan gajah seperti daun talas. Yang keempat paling pendek badannya, maju di bawah perut gajah tidak memegang apa-apa dan mengatakan gajah seperti udara. Yang kelima pendek tubuhnya, maju meraba bagian belakang memegang ekor dan mengatakan gajah itu seperti pecut. Tentu, pemahaman gajah sesungguhnya dari kelima orang buta ini akan berbeda bila disodorkan gambar ukiran timbul atau patung kecil seekor gajah sebelumnya.
Seperti itulah, siapa pun yang hanya memahami satu sudut pandang cabang (ilmu) pengetahuan sebagai gambaran pemecahan suatu masalah, tanpa luasan pandang menyeluruh (ilmu) pengetahuan. Memang, merupakan hukum alam segala sesuatu yang seragam (besar sedikit jumlahnya) makin lama makin beragam (kecil banyak jumlahnya), dan pada tingkat kekacauan dibutuhkan sistem keteraturan untuk memahaminya sebagai satu kesatuan. Tetapi, nampak (hampir) mustahil (karena tenaga, waktu dan biaya terbatas) mempelajari seluruh cabang (ilmu) pengetahuan mendapatkan pemahaman luas dan dalam semesta untuk suatu masalah. Betapa beruntung dunia andai sosok kecil gambaran satu kesatuan the body of science itu ada. Gambaran rangkuman prinsip-prinsip satu kesamaaan semua hal dari sekian banyak perbedaan dalam semesta, sebuah Theory of Everything (TOE).
JIKA Anda tahu bagaimana alam semesta ini bekerja, Anda dapat mengaturnya (Stephen William Hawking).
Kemudian, bagaimanakah mengetahui seseorang (dan juga diri sendiri) sebenarnya tergolong buta (karena tanpa TOE) terhadap sosok (ilmu) pengetahuan dimiliki sekarang?
Dengan sopan dan rendah hati, semua peneliti, pengajar atau siapa pun bidang apa pun harus menanyakan: Apa prinsip dasar asumsi penelitian, belajar dan mengajar (ilmu) pengetahuan yang diteliti, dimiliki atau diberikan? Jika jawaban berupa kalimat retorika atau basa-basi, mungkin ia (dan kita) tergolong masih buta tentang the body of science hal bidang ilmu pengetahuan itu.
Lalu, apa rangkuman (kecil) prinsip dasar asumsi TOE dalam meneliti, belajar, mengajar dan mengelola ilmu pengetahuan hal apa pun?
KETIDAKMAMPUAN seseorang untuk menjelaskan idenya secara singkat, barangkali dapat merupakan tanda bahwa dia tidak mengetahui pokok persoalan secara jelas (C. Ray Johnson).
Ilmu pengetahuan (obyek empiris) dinyatakan benar ilmu pengetahuan selama asumsi dasar diakui, yaitu ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang teratur (systematic knowledge) (pernyataan yang diterima setelah abad XVII) (The Liang Gie, 1997:380). Tanpa asumsi dasar keyakinan adanya keteraturan ini, proses meneliti, belajar mengajar apa pun yang di bangun di atasnya hanyalah potongan-potongan pengetahuan yang tidak efektif, efesien dan produktif. Seperti pernyataan jernih ilmuwan Carl Sagan, bahwa jika kita hidup di atas sebuah planet di mana segala sesuatu tidak pernah berubah, sedikit sekali yang bisa dikerjakan. Tidak ada yang harus dibayangkan, dan tidak akan ada dorongan untuk bergerak menuju ilmu pengetahuan. Namun jika kita hidup di dalam dunia yang tidak bisa diramalkan di mana semua hal berubah secara acak atau dengan cara sangat rumit, kita juga tidak akan bisa menggambarkan semua keadaan. Di sini juga tidak ada ilmu pengetahuan. Tetapi kita hidup di dalam semesta yang berada di kedua keadaan ini. Di alam ini semua keadaan berubah, tetapi mengikuti pola, aturan, atau mengikuti yang kita katakan sebagai hukum-hukum alam.
Lebih jelas, prinsip dasar asumsi keteraturan ini diurai Jujun S. Suriasumantri (1977:7-9) dengan baik, yaitu obyek empiris (tertentu) itu serupa dengan lainnya seperti bentuk, struktur, sifat dan lain-lain, lalu (sifat) obyek tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu (meski pasti berubah dalam waktu lama yang berbeda-beda), serta tiap gejala obyek bukan bersifat kebetulan (namun memiliki pola tetap urutan sama atau sebab akibat). Akhirnya, saya memastikan rincian prinsip dasar asumsi keteraturan ilmu pengetahuan ini dalam TOTAL QINIMAIN ZAIN (TQZ): The Strategic-Tactic-Technique Millennium III Conceptual Framework for Sustainable Superiority (2000), TQZ Science, bahwa definisi ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan yang memiliki susunan kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukum yang teratur. (Teratur pada TQZ Scientific System of Science adalah teratur sama dalam fungsi, jumlah, urutan, kaitan, dan paduan menyeluruh di semesta meski hal berbeda apa pun). Sebuah TOE, jawaban masalah dasar dan besar yang menghantui pikiran manusia selama dua ribu tahun atau dua millennium.
TEORI adalah sekelompok asumsi masuk akal dikemukakan untuk menjelaskan hubungan dua atau lebih fakta yang dapat diamati, menyediakan dasar mantap memperkirakan peristiwa masa depan (JAF Stoner).
TOE penting sekali dalam meneliti, belajar mengajar dan mengelola bidang apa pun. Memecahkan suatu masalah sulit, tetapi mengenali (fenomena) masalah lebih sulit lagi. Dengan mengetahui dan memahami TOE, sangat membantu mengenali bila berhadapan atau merasakannya. Misal, seseorang telah disodorkan gambaran prinsip dasar asumsi keteraturan ilmu pengetahuan akan lebih mudah untuk mengambil kesimpulan jika suatu saat menghadapi (fenomena) satu atau banyak masalah, meski belum pernah dikenalnya. Jadi, fungsi TOE pada TQZ Scientific System of Science tak lain sebuah paradigma scientific imagination benchmarking sistematis, berupa metode synectic kreatif menggunakan metafora dan analogi rinci menuntun suatu usaha memilih jalur proaktif terhadap suatu hal dengan memperhatikan fakta dan kemungkinan yang telah diidentifikasi dan dileluasakan, dengan lima dasar (posisi), fase (kualitas) dan level (sempurna). Suatu mental image atau model ilmiah analogi fenomena semesta dalam bentuk keteraturan yang dapat dipahami.
Contoh sederhana (meski sebagai TOE belum cukup teratur), jika gambaran prinsip dasar asumsi keteraturan tubuh mahluk hidup sempurna memiliki kepala, dada, perut, tangan dan kaki, sedang lainnya berupa bagian tambahan tubuh. Maka, seseorang yang meyakini dan memahami keteraturan ini akan melihat persamaan fungsi tubuh pada ikan gabus, kupu-kupu, monyet, ular dan burung pipit, selain perbedaan bagian itu. Dengan prinsip dasar asumsi keteraturan itu, tubuh mahluk hidup akan lebih mudah diteliti, pelajari dan diajarkan dengan benar, bahkan terhadap mahluk hidup unik lain yang baru dilihat.
KARYA seorang ilmuwan berlandaskan keyakinan bahwa alam pada pokoknya teratur. Bukti yang menunjang keyakinan itu dapat dilihat dengan mata telanjang bukan hanya pada pola sarang lebah atau pola kulit kerang, tetapi ilmuwan juga menemukan keteraturan pada setiap tingkat kehidupan (Henry Margenau).
Bukti monster (ilmu) pengetahuan demikian besar, merugikan dan banyak di sekeliling. Contoh monster-monster itu, dalam seminar dan diskusi, buku dan makalah, ulasan dan kritikan berbagai masalah di mana-mana tidak menyuguh keteraturan. Misal, bahasan mencipta puisi, cara menulis, atau mendefinisikan sesuatu saja, tanpa jelas kepala, tangan, badan, perut, dan kakinya, bahkan tanpa memastikan yang dijelaskan itu adalah bagian kaki atau kepala. Atau lebih parah lagi, tidak diketahui apakah yang disajikan itu kaki, jari, atau gigi, karena jumlahnya demikian tidak tetap dan berbeda. (Perhatikan kesimpulan utama penyebab masalah dan pemecahannya bidang ilmu hal yang sama sekali pun, bisa satu, dua, tiga, empat, lima, enam, sembilan, tujuhbelas, limapuluhdua, dan seterusnya, belum lagi bicara keteraturan urutan dan kaitan antar penyebab atau antar pemecahan yang disebutkan itu). Apalagi membahas masalah mengenai cara mengatasi krisis pangan, krisis energi atau strategi keunggulan usaha (suatu organisasi, daerah, bahkan negara), pasti monster lebih mengerikan.
Contoh nyata monster raksasa, menunjukkan belum teraturnya kelompok ilmu sebagai ilmu pengetahuan. Deobold B. Van Dalen menyatakan, dibandingkan dengan ilmu-ilmu alam yang telah mengalami perkembangan yang sangat pesat, ilmu-ilmu sosial agak tertinggal di belakang. Beberapa ahli bahkan berpendapat bahwa ilmu-imu sosial takkan pernah menjadi ilmu dalam artian yang sepenuhnya. Di pihak lain terdapat pendapat bahwa secara lambat laun ilmu-ilmu sosial akan berkembang juga meskipun tak akan mencapai derajat keilmuan seperti apa yang dicapai ilmu-ilmu alam. Menurut kalangan lain adalah tak dapat disangkal bahwa dewasa ini ilmu-ilmu sosial masih berada dalam tingkat yang belum dewasa. (Ilmu dalam Persfektif, Jujun S. Suriasumantri, 1977:134). Juga C.A. Van Peursen, dalam tahap perkembangan ilmu pengetahuan kemajuan bidang ilmu alam lebih besar daripada ilmu kehidupan, dan ilmu kehidupan lebih maju dari ilmu kebudayaan (Strategi Kebudayaan: 1976:184-185). Sedang di dunia akademi, berjuta-juta hasil penelitian seluruh dunia kurang berguna dan sukar maju karena berupa monster maha raksasa, tanpa TOE yang merangkai sebagai satu kesatuan the body of science.
Akhirnya, bagaimana mungkin (manusia) siapa pun yang terlibat proses meneliti, belajar, mengajar dan menggunakan ilmu pengetahuan sepanjang hidup dapat berpikir tenang, selama prinsip dasar asumsi keteraturan (ilmu) pengetahuannya belum beres? Sebab, jika prinsip dasar asumsi keteraturan ilmu pengetahuan yang didapat dan diberikan saja kebenarannya meragukan, maka kredibilitas kemampuan, nilai, gelar (dan status) seseorang (dan organisasi) itu pun diragukan. Karena, sebenar atau setinggi apa pun nilai memuaskan didapat dari pendidikan dengan pelajaran bahan yang buruk atau salah, tetaplah buruk atau salah, (setelah mengetahui bagaimana kebenaran suatu hal itu) sebenarnya. Dan, tanpa keteraturan TOE, penelitian dan belajar mengajar, seminar dan diskusi, buku dan makalah, ulasan dan kritikan berbagai masalah terus menghasilkan monster di mana-mana. Banyak buang tenaga, waktu dan biaya percuma. Fatal dan mengerikan.
LEBIH baik menjadi manusia Socrates kritis yang tidak puas, daripada menjadi babi tolol yang puas (Henry Schmandt).
BAGAIMANA strategi Anda?
*) Qinimain Zain Scientist & Strategist, tinggal di Banjarbaru Kalsel, e-mail: tqz_strategist@yahoo.co.id (www.scientist-strategist.blogspot.com)
Memang kalau memikirkan pendidikan di Indonesia, saya setuju sekali, banyak kesia-siaan dilakukan pelajar kita. Saya jadi penasaran, sebenarnya siapa sih yang menentukan kurikulum, apakah memang ahli-ahli dari bangsa sendiri yang peduli pada rakyatnya, atau jangan-jangan DepDikNas sudah mengeluarkan duit trilyunan untuk membayar konsultan pendidikan asing yang sok jual mahal, tapi ternyata hasilnya tetep BOBROK. Atau memang konsultannya (yang saya yakin mereka memiliki kecerdasan di atas rata-rata) SENGAJA mengeset pendidikan di Indonesia agar pelajarnya menjadi tidak berkualitas, mental kuli, nerimo, dan UUB (ujung-ujungnya bingung) sehingga kerjaannya gak nyambung ma skillsetnya (baca: mubadzir).
Karena sebenarnya kalau pemerintah serius, orang-orang seperti Mas Roni ini bisa diminta pendapat untuk menyusun kurikulum, dan saya yakin beliau sangat memikirkan bangsanya.
Karena memang kenyataan bangsa sudah seperti ini, mari kita doakan supaya para pemimpin bangsa ini, para penentu kebijakan pendidikan dibukakan hatinya (bukan cuma kantongnya lho) agar meluangkan secuil waktunya yg sangat berharga untuk memikirkan rakyatnya yang menjadi tanggung jawabnya (nanti di akhirat bisa nuntut lho ke pak pemimpin).
wassalam.
salam kenal, pak
(info dari bandung.. hehe)
Kalau melihat kurikulum yang bapak sebutkan di atas(di univ. saitama). Sepertinya mirip-mirip dengan yang di tempat saya kuliah. Coba lihat di kur2003.if.itb.ac.id.
Walaupun sekarang sudah pakai kur2008, tapi kurang lebih mata-kuliah2 nya sama. Bedanya ada pada besar sks untuk tiap mata kuliah nya, dan lahirnya tiga sub-prodi: computer science, software engineering, dan information system. Jadi seperti yang bapak tulis, anak RPL (rekayasa perangkat lunak) tidak dapat mata kuliah grafika,,
Kuliah gratis ya,mas? kalau ya seperti di Jerman oke, mau materinya muluk-muluk si tidak apa-apa. Yang jadi persoalan orang tua yang kobol-kobol.
Umumnya PT dengan kurikulum yang muluk2 biayanya mahal/bisnis. Mana mungkin wong cilik nyekolahin anaknya di PT semacam ini.
Perasaan kurikulum akan berubah dengan sendirinya saat lingkungan berubah.
Contoh, dulu ada pelajaran pengenalan komputer versi lama sekarang juga ada tapi versi baru.
Lebih baik ilmu yang mas Romi dapatkan, tuangkan saja dalam buku. Kalau memang terbeban ingin memajukan bangsa ini. Nanti mahasiswa/publik akan baca/belajar sendiri. Dan berikan/sumbangkan ilmu dengan tulus kalau ingin jadi berkat bagi bangsa ini, ajak dosen yang lain.
Lain kalau bisnis atau cari popularitas, kalau ini yang dituju lupakan saja komentar saya.
Kita dibekali harta tangible dan intangible oleh yang Mahakuasa lo mas. Sewaktu-waktu, bisa dikembangkan sendiri-sendiri kok. Sabar saja kalau ngajar ya?
Bener banget Pak Romi…
Kadang fakultas asal ‘ambil’ pengajar untuk mengisi kekosongan…
Saya pny seorang kawan yang baru lulus teknik elektro dan kini menekuni hobi sebagai seorang fotografer. oleh fakultas TI yang baru saja membuka program studi baru (DKV), dy diminta untuk mengajar kelas fotografi.. Setelah jadwal mengajar keluar, ternyata ia kebagian tugas mengajar banyak sekali mata kuliah yang menurut saya adalah mata kuliah dasar dan penting. Dan hebatnya lagi, bahkan teman saya sendiri ragu menjalaninya. Dan kaget sewaktu mengetahui tugas mengajarnya.
Ada pula seorang dosen yang selalu mengambil materi orang lain untuk kegiatan mengajarnya. Parahnya, pernah saya menemukan soal yang dibuat oleh asisten (untuk mata kuliah yg sama di taon lalu), dy asal ambil untuk take home test (tanpa perubahan titik maupun komanya)!!
Ada pula seorang dosen yang sering melalaikan tugas mengajarnya (memang termasuk dosen sibuk.. sibuk oleh tugas dinas fakultas dan tambahan obyek lain):( Ga pernah masuk mengajar, tiba-tiba asal memberi tugas yang dinyatakan sebagai pengganti tes. Nilai didapat dari entah mana, ilmu pun ga dapat sama sekali 🙁
Terkadang fakultas asal kejar target. Seorang dosen pernah berkata pada saya bahwa kuota bimbingan untuk para dosen sudah penuh semua.. Padahal baru sebgaian kecil dari angkatan sy yang menjalani skripsi. Dan mereka tidak pernah membatasi jumlah calon mahasiswa di tiap taon.
Sudah gitu, agaknya ada kecenderungan fakultas untuk berbangga hati dengan jumlah mahasiswa yang membludak… walo tanpa diiringi kemajuan di berbagai pendukung lainnya.
Tentang mata kuliah kosyarat.. Di fakultas saya ada peraturan ttg syarat matakuliah yg diambil sebelum mata kuliah tertentu..tapi, sayang ga berlaku.
Trims~
“pilihlah Universitas yang memiliki kurikulum dan dosen pengajar yang baik.’
di Indonesia di mana ya Pak??! 😀
terima kasih ilmu yang ditebarkan selama ini. semangat pak moga kebaikan dibalas sang maha mencinta..amin. dan terima kasih juga kemaren pasti landmark braga bandung dapat buku gratis jadi semangat menulis lagi….
huh, pantesan semasa kuliah bingung melulu.
Nilai sih antara B sampai A, itu nggak pake nyontek loh. Ilmunya inget sampai semester itu saja, habis dengan semester berikutnya banyak nggak nyambung, akhirnya jadi lupa deh.
Gimana nih mas Romi??? kalo sistem kita niru jepang, kira2 siap gak ya dosennya 🙂
salah satu penyebabnya: mahasiswa mengejar IPK tinggi. Logika yang dipakai IPK tinggi = cerdas… padahal banyak yang nyontek untuk dapatkan IPK tiga koma sekian. Atau beli nilai. Harusnya bukan IPK tinggi saja yang jadi penilaian, juga kreativitas. Contoh: Kalau setiap mahasiswa punya website, berarti setiap mahasiswa dituntut untuk kreatif.
Selain itu, mahasiswa dengan IPK pas-pasan, meskipun punya prestasi lain, gak dihargai sama kampus. IPK tinggi saja yang dipanggil dan diberi penghargaan saat wisuda.
Harusnya diubah pertanyaan waktu wisuda, bukan hanya: Berapa IPK anda?
tetapi juga
Seberapa kreatifkah anda? Apa hasil karya anda waktu jadi mahasiswa?
nyindir.. nyindir.. nyindir..
setelah begitu byk komen dari rekan2 yg lainnya,saya jg dikelitik ma artikel ini,jd sy ijin mau nambah komen!
bingung ni mw nulis apa,tp di artikel tadi seperti menjawab kebingungan n pertanyaan saya dan rekan2 di kampus
knp begini?knp begitu?.. kok kami kayak gini?gak kayak gitu?..
semoga artikel ni bisa jadi inspirasi buat ‘Yang Diatas’!heu… piss ah!
Betul mas. sekarang banyak mahasiswa lulusan teknik/manajemen komputer yang hanya bisa ngetik dan browsing internet doang…. itu hampir di atas 50% nya….
Wah pengen banget bisa pinter kayak om romi di bidang IT … rasa-rasanya kalo diajar oleh suatu lembaga pendidikan yang cukup serius di bidang IT bangga banget bisa menjadi bagian dari lembaga pendidikan tersebut. Kapan ya aku bisa kayak om Romi 😛 hihihi. Tetaplah menjadi guru bagi kami om Romi :D.
sayang sekali, Saya baru baca artikel ini setelah lulus…:( Tapi dari pengalaman saya, kurikulum di kampus untuk jurusan saya memang sangat banyak memberikan “tuntutan” bagi mahasiswa untuk menguasai banyak hal, jadinya terkadang mahasiswa itu sendiri tidak pernah merasa benar2 bisa menguasai salah satu bidang konsenstrasinya/kompetensinya dengan baik. Kalau saya prinsipnya apa yang saya suka itulah yang saya pelajari… Semoga untuk ke depannya kampus2 yang ada jurusan Informatika nya bisa lebih maksimal mengarahkan mahasiswa untuk meraih “cita-cita” nya. terimakasih pak Romi artikel nya sangat inspiratif…salam
Kurikulum yang membuat mahasiswa menjadi “kurang mampu” untuk bersaing pak, saya yakin kita bisa bersaing di dunia internasional jika kurikulum di revisi lebih baik lagi..
artikelnya bagus, pak.:-)
jujur aja, saya sebagai mahasiswi jur. SIstem Informasi jadi merasa serba salah. saya sekarang di semester 3 dan belajar bahasa COBOL. tapi kalo dipikir2 lagi, COBOL kan sekarang saya lihat nggak terlalu populer, soalnya saya lihat jarang orang yang menulis tentang COBOL.
saya jadi bingung, belajar pun setengah hati karena saya nggak tahu persis apa yang harus saya ‘telan’. ini pun harus sambil menanggung malu karena saya lihat banyak orang2 di luar fakultas Ilmu Komputer yang malah jauh lebih jago dalam bahasa Java, PHP, dll..
mau belajar sesuatu yang di luar SKS pun juga setengah2, Pak. karena SKSnya pun sudah banyak muatannya, padat jadwalnya. Belum lagi kegiatan organisasi. Alhasil, saya jadi bingung ngatur jadwalnya…
Kalau ingin bisa membuat mobil, pelajari dan perdalamilah cara kerja sebuah mobil. Kalau ingin bisa membuat perangkat lunak, pelajari dan perdalamilah cara kerja sebuah perangkat lunak. Setelah anda tau cara kerja sebuah sistem, carilah perangkat yang tepat untuk membuatnya. Jika anda tidak pernah mengetahui cara memakai perangkat tersebut, pelajarilah juga, namun tetap yang utama adalah cara kerja sistem akhir tersebut. Maka dari itu, untuk jadi pelajar (saya sebut pelajar karena semua orang bisa menjadi pelajar, tanpa terbatas umur, gender, ras, golongan, politik, etc.) hal yang utama adalah fleksibilitas, kreatifitas, dan logika.
Java, .NET, C/C++, COBOL, Pascal, Delphi, Ruby, Perl, Python, Windows, Linux, etc. hanyalah sebuah TOOLS!! itu hanyalah perangkat yang akan anda gunakan untuk merealisasikan sistem (aplikatif), namun yang utama adalah bagaimana desain (rancang bangun) anda pada sistem tersebut, dan itu hanya bisa dilakukan jika anda memahami satu atau sebagian dari: Matematika & Logika, Ilmu Sosial, Ilmu Biologi, Ilmu Fisika, Algorithm & Data structure, etc. dan atau ilmu dasar lainnya.
Bagi para mahasiswa/i, mungkin anda merasa kalah dengan orang yang tidak kuliah namun bisa ini dan itu. Namun saran saya, jangan anda merasa kalah karena tidak bisa ini dan itu, namun merasalah kalah karena anda TIDAK MAU mempelajari hal tersebut atau TIDAK TAHU bahwa ternyata ada hal tersebut.
Anda sudah mahasiswa! bukan saatnya lagi anda-anda ini minta ditetekin! saatnya untuk mandiri karena anda sudah DEWASA! itu semua berakar dari KEMAUAN!
Kalau sudah merasa bahwa badan pendidikan anda (be it University or College or whatever) tidak beres, mending anda cabut saja, lebih baik kehilangan uang sekarang daripada kehilangan masa depan.
Kalau memang tidak ada badan pendidikan SATUPUN yang beres (WTF?!) mending anda ga usah kuliah, keluar dan uangnya buat “beli” sertifikasi (daripada buat beli ijazah yang pastinya lebih mahal).
Jadi intinya, semua tergantung kemauan dan kemandirian anda (yea I know, life ain’t fair!)
jadi gimana donk mas solusi dari semua ini.
yup..stuju..btw pak ini bisa jadi salah satu data penunjang tuk skripsi saya gak?
yang saya perhatiin memang konsep (root permasalahan) n pengembangan karier kurang diperhatikan…jangan sampai ketika lulus kuliah, bingung mau jadi apa..
mas romy.,
gini mas.,sebenarnya saya cuma minta bantuan mas romy.
tolong berikan saya kritik dan saran tentang mata pelajaran pengantar teknologi informasi.
agar saya dapat mengkritik dosen saya.
terima kasih.
assalamu’alaikum Wr.Wb
salam hangat buat semua….
memang kita tak dapat menyangkal..kalau sistem pendidikan di negara kita ini belum begitu maksimal ditingkatkan.
saya memang hanya tamatan smu,,,dari jurusan ipa…semasa sekolah saya hampir tidak tau sedikitpun ilmu komputer..bahkan hanya liat tampilan casing komputer saja ..rasanya aku sudah sangat senang…dan kalau disuruh megang keyboard..maka lab komputer akan bergetar ria..karna tanganku sudah gemeteran.
boleh dikatakan,selama mengikuti pendidikan formal…aku anak yang berprestasi…hampir semua mata pelajaran aku kuasai..dan paling aku ngak bisa adalah penjaskes dan komputer…
aku memutuskan untuk kerja karena memang keuangan orang tua tidak memadai untuk melanjutkan aku ke jenjang yang lebih tinggi….
satu tahun sudah kami lulus dari smu….dan melalui situs jejaring sosial yang ada di internet..membuat aku dan semua teman yang dulu dapat saling meet and greet walaupun hanya sebatas having a chat…
nah…dari sebagian teman yang mengambil jurusan komputer…aku mulai bertanya tentang html…tapi tak seorangpun yang tau…
dan yang paling membuat aku terheran heran adalah…selama satu tahun itu..mereka hanya diajarkan tentang ms.word dan excel…
maaf kata…biarpun aku hanya lulusan smu..tapi selama kau bekerja aku banyak belajar tentang komputer dan internet…..
dan boleh dikatakan aku tidak kalah bersaing dengan teman aku yang sudah menempuh kuliah hampir memasuki semester 3….
dan dengan senang hati dan besar harapan kepada bapak..untuk senantiasa menambah entri yang sangat berguna demi mengembangkan ilmu komputer yang aku miliki ini..supaya lebih baik di kemudian hari…
dan aku optimis…biarpun aku hanya lulusan smu dan tidak dapat melanjut kuliah..selama minat belajar itu belum padam dari hati yang terdalam …maka aku akan dapat mengejar semua ketertinggalan aku,,,dan bahkan duduk dibangku depan…amin..
best of luck…dan best regards,
Roy daniel sitorus
Dear Pa,
Sy Mhs Ubhara IT/VII.Sy ingin membuat software untuk program robot tuk skripsi – seperti Robopro. Sample Robot juga akan sy buat sendiri. Dari mana sy mulai belajar. Bnyk Dosen sy adlh Mhs Pak Romy. Minta tolong. Top Urgent.
Tks
Regard’s
Wuaaahhh mantap bener bang jun skripsinya bikin software buat robot, ajarin dunk klo dah sukses
wow wow wow sepertinya ku harus hijrah ke jepang saja, kulia disini gag pinter2, hagz hagz
pak romi websiteny bener2 keren, bahasa penyampaiannya bikin aku mudeng,,,
terima kasih mas romi atas masukannya.
wah, saya jadi terinspirasi ingin kuliah di luar negeri (jika ada biaya & kemampuan), saya tak tahu dan kurang faham, dapat apa di tempat saya kuliah, pelajarannya kurang begitu mengena dan malah kadang ndak nyambung. Tapi saya tetep ingin survive walaupun banyak godaan sebab ortu masih menginginkan saya untuk tetep melanjutkan study yang saya ambil.
nice info pak.. tx!!
Betul bgt Pak …
Sehubungan dengan Kredit untuk syarat kelulusan S1 di beberapa kampus di Indonesia ada yg tembus angka 145 SKS (bisa dibayangkan sibuknya, he..he..)
Semoga Artikel ini bisa menjadi bahan pertimbangan bagi Pihak Akademis (perancang Kurikulum) dalam merancang sistem kurikulum yang lebih baik …
memang aneh, di perguruan tinggi yang saya ikuti juga menerapkan hal yang sama, kurikulum yang tidak jelas dan sangat berantakan, banyak mata kuliah yang harusnya di ajarkan pada semester atas di percepat pada semerster awal..dan para mahasiswa kebingungan bahkan ada yang masa bodo dengan kuliahnya..tenaga pengajar juga seperti kehilangan orientasi..mudah2an indo bisa berubah menjadi lebih baik dalam bidang pendidikan